-->

PENGOBATAN MELALUI RUQYAH SYAR’IYAH

www.ibnukatsironline.com
BAB I
MAKNA RUQYAH DALAM SYARIAT

Dari sisi etomologi, ruqyah berarti permohonan perlindungan, atau ayat-ayat, dzikir-dzikir dan doa-doa yang dibacakan kepada orang yang sakit. Sedangkan menurut terminologi syariat, ruqyah berarti bacaanbacaan untuk pengobatan yang syar’i (berdasarkan nash-nash yang pasti dan shahih yang terdapat dalam Al Qur’an dan As Sunnah) sesuai dengan ketentuanketentuan serta tata cara yang telah disepakati oleh ulama. Ruqyah dinamakan juga dengan ‘Azaa’im (bentuk plural dari ‘Aziimah, yang dikenal dalam bahasa Indonesia dengan azimat-azimat). Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin - rahimahullahu- menjelaskan:” Ruqyah dinamakan (juga) dengan ‘Azaa’im karena orang yang membacanya meyakininya, serta lahir pada dirinya kekuatan penolakan (terhadap penyakit/bahaya) ketika membacanya”.

Hukum menggunakan ruqyah untuk mengobati penyakit adalah mubah (boleh). Bahkan syariat menganjurkannya. Berdasarkan nash-nash tekstual dalam Al Qur’an dan As-Sunnah. Dan tidak diragukan lagi, bahwa pengobatan dengan Al Qur’an Al Karim dan dengan nash-nash ruqyah yang tsabit (tetap) dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah terapi pengobatan yang sangat sempurna dan bermanfaat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قُلْ هُوَ لِلَّذِينَ آمَنُوا هُدًى وَشِفَاءٌ
“Katakanlah: ‘Al qur’an itu adalah petunjuk dan (obat) penawar bagi orang-orang yang beriman’” (Q.S. Fushilat/41:44).

Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ
“Dan Kami turunkan dari al-Qur'an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman” (Q.S Al Israa’/17 :82).

Juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Rabbmu dan penyembuh bagi penyakitpenyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Yunus/10:57).

Al Qur’an merupakan obat yang sempurna dan penawar bagi seluruh penyakit hati dan jasad, serta penyakit-penyakit dunia dan akhirat. Namun tidak semua orang mampu dan mempunyai kemampuan untuk melakukan penyembuhan dengan Al Qur’an. Jika pengobatan penyembuhan dilakukan secara baik terhadap penyakit, didasari dengan kepercayaan dan keimanan, penerimaan yang penuh, keyakinan yang pasti, serta terpenuhi syarat-syaratnya, maka tidak ada satu penyakit pun yang mampu melawannya selamalamanya. Bagaimana mungkin penyakit-penyakit itu akan menentang dan melawan firman-firman Rabb Pemelihara langit dan bumi, yang jika firman-firman itu turun ke atas gunung, maka ia akan memporak-porandakan gunung tersebut? Atau jika turun ke bumi, niscaya ia akan menghancurkannya? Oleh karena itu, tidak ada satu penyakit hati dan juga penyakit fisik pun melainkan di dalam Al Qur’an terdapat jalan penyembuhannya, penyebabnya, serta pencegah terhadapnya bagi orangorang yang dikaruniai pemahaman oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap kitabNya. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyebutkan penyakit-penyakit hati dan jasad, juga disertai penyebutan penyembuhan penyakit hati dan fisik.

Penyakit hati terdiri dari dua macam, yaitu: penyakit syubuhat (kesamaran) atau ragu, dan penyakit syahwat atau hawa nafsu. Allah yang Maha Suci telah menyebutkan beberapa penyakit hati secara terperinci disertai dengan beberapa sebab, sekaligus cara menyembuhkan penyakit-penyakit tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
أَوَلَمْ يَكْفِهِمْ أَنَّا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ يُتْلَى عَلَيْهِمْ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَرَحْمَةً وَذِكْرَى لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
“Dan apakah tidak cukup bagi mereka bahwasannya Kami telah menurunkan kepadamu Alkitab (al-Qur'an) sedang dia dibacakan kepada mereka Sesungguhnya di dalam (al-Qur'an) itu terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Al ‘Ankabut/29:51).

Al Imam Ibnul Qayyim -rahimahullahberkata:”Barangsiapa yang tidak dapat disembuhkan oleh Al Qur’an, berarti Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak memberikan kesembuhan padanya. Dan barang siapa yang tidak dicukupkan oleh Al Qur’an, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak memberikan kecukupan padanya”.

Dan dalil-dalil dalam tatanan sunnah juga tidak sedikit yang menandaskan perintah kepada umat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam untuk mengobati penyakit dengan metode ruqyah ini. Diantaranya hadits dari ‘Aisyah -radhiallahu ‘anha-, ia berkata :
أَمَرَنِيْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَسْتَرْقِيَ مِنَ الْعَيْنِ
“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memerintahkanku untuk meruqyah dari ‘ain (pengaruh mata jahat)”

Juga hadits dari Jabir bin Abdillah –radhiallahu ‘anhu-, ia berkata: ”Seeokor kalajengking pernah menyegat salah seorang diantara kami, saat itu kami sedang duduk-duduk bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Kemudian seorang laki-laki berkata: ”Wahai Rasulullah, apakah aku (boleh) meruqyahnya?” Lantas Beliau pun bersabda:
مَنْ اِسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يَنْفَعَ أَخَاهُ فَلْيَفْعَلْ
“Siapa saja diantara kalian mampu memberikan manfaat kepada saudaranya, maka lakukanlah”

Serta hadits dari ‘Auf bin Malik Al Asyja’i - radhiallahu ‘anhu-, ia berkata: ”Kami dahulu menggunakan ruqyah pada masa jahiliyah, lalu kami tanyakan hal tersebut kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, ”Wahai Rasulullah, bagaimana menurut pendapatmu tentang ruqyah itu?” Beliau menjawab:
اِعْرِضُوْا عَلَيَّ رِقَاكُمْ لاَ بَأْسَ بِالُّرقَى مَا لَمْ یَكُنْ فِیْهِ شِرْك
”Bacakanlah kepadaku ruqyah-ruqyah kalian, tidak mengapa menggunakan ruqyah selama tidak  engandung kesyirikan”

Al Hafizh Ibnu Hajar -rahumahullahu- menjelaskan : ”Para ulama telah berijma’ (bersepakat) akan bolehnya menggunakan ruqyah (dalam pengobatan) dengan terpenuhinya tiga syarat:
1.      Ruqyah tersebut dengan menggunakan Kalamullah (ayat-ayat Al Qur’an), atau namanama dan sifat Allah ‘Azza wa Jalla.
2.      Ruqyah tersebut harus diucapkan dengan bahasa Arab atau (boleh dengan -Pen) bahasa selain Arab yang dibaca dengan jelas dan difahami maknanya.
3.      Harus diyakini, bahwa yang memberikan pengaruh dan kesembuhan bukanlah ruqyah dengan sendirinya, tetapi yang memberi pengaruh adalah (izin dan) kekuasan Allah Azza wa Jalla.

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz - rahimahullahu- menerangkan: ”Tentang ruqyah, haditshadits shahih telah menunjukkan bahwa selama ia berisi ayat-ayat Al Qur’an dan doa-doa yang dibolehkan syariat, maka hal itu tidak mengapa, jika ruqyah tersebut dibaca dengan lisan yang jelas dan diketahui maknanya, serta orang yang diruqyah tidak bergantung pada ruqyah tersebut, bahkan ia harus meyakini bahwa ruqyah hanya salah satu sebab (diperolehnya kesembuhan). Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:
لاَ بَأْسَ بِاارُّقَى مَالَمْ تَكُنْ شِرْكًا
“Tidak mengapa menggunakan ruqyah selama tidak mengandung kesyirikan”

Nabi sendiri pernah meruqyah para sahabatnya dan sebagian sahabat Nabi juga pernah melakukannya”.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin - rahimahullah- menjelaskan pula: ”Ruqyah, bagi orang yang melakukannya (untuk orang lain) hukumnya adalah sunnah, karena tindakan tersebut merupakan wujud ihsan (perbuatan baik) bagi orang yang diruqyah. Sedangkan bagi orang yang (meminta) diruqyah, maka hukumnya boleh. Namun yang lebih utama adalah tidak meminta orang lain untuk meruqyah dirinya, berdasarkan hadits tentang orang-orang yang masuk surga tanpa hisab, diantara sifat mereka adalah tidak meminta orang lain untuk meruqyahnya”. 

Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda :
يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مِنْ أُمَّتِيْ سَبْعُوْنَ أَلْفًابِغَيْرِ حِسَابٍ قَالُوْا : وَمَنْ هُمْ يَارَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ : هُمُ اللَّذِيْنَ لاَ يَكْتُبُوْنَ وَلاَ يَسْتَرْكُوْنَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ
“Ada tujuh puluh ribu orang dari umatku yang akan masuk surga tanpa hisab” Para sahabat bertanya:  ”Siapakah mereka, wahai Rasulullah? Belaiu menjawab:”Mereka adalah orang-orang yang tidak berobat dengan kay (pengobatan dengan besi panas), tidak minta diruqyah, dan hanya kepada Rabbnya mereka bertawakal”.

BAB II
DOA YANG DIBACA SAAT MERUQYAH

A.      Bacaan Ruqyah dari Ayat Al Qur’an
Secara umum, ayat-ayat Al Qur’an seluruhnya bisa digunakan untuk meruqyah, dan tidak dikecualikan darinya satu ayat pun. Hanya saja, beberapa ayat memang memiliki pengaruh dan efek lebih kuat dari ayat lainnya, sebagaimana yang dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam hadits-haditsnya.

Penjelasan Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kami rangkum dalam point-point berikut
ini:
1.      Al Mu’awwidzaat, yaitu surat Al Ikhlash, Al Falaq dan An Naas. Berdasarkan hadits dari ‘Aisyah –radiallahu ‘anha-,
اِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَنْفُسُ عَلَى نَفْسِهِ فِي الْمَرَضِ الَّذِيْ مَاتَ فِيْهِ بِالْمُعَوَّذَاتِ فَلَمَّا ثَقُلَ كُنْتُ أَنْفُثُ عَلَيْهِ بِهِنَّ وَأَمْسَحُ بِيَدِ نَفْسِهِ لِبَرَكَتِهَا
“Bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam meniup untuk dirinya sendiri pada saat Beliau sakit yang mengantarkannya pada kematian, dengan membaca mu’awwidzaat, maka tatkala sakit Beliau bertambah parah, akulah yang meniupkan pada tubuh Beliau dengan membaca mu’awwidzaat tersebut dan aku mengusapkannya ke wajahnya dengan tangan Beliau sendiri karena keberkahan (tangan Beliau)”.

Dan juga sabda Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang lain:
أُنْزِلَتْ عَلَيَّ سُوْرَتَانِ, فَتَعَوَّذُوْا بِھِنَّ فَإِنَّهُ لَمْ یُتَعَوَّذْ بِمِثْلِھِنَّ یَعْنِي الِمُعَوِّذَتَیْن
“Telah diturunkan kepadaku dua surat, yakni mu’awwidzatain, maka mohonlah perlindungan Allah dengannya, karena sesungguhnya  seseorangnya tidak mendapat perlindungan seperti perlindungan dengan membaca dua surat ini”.

Juga hadits dari Abu Sa’id -radhiallahu ‘anhu-, ia berkata:
كَانَ رَسُوْلُ االلهِ صَلَّى االلهُ عَلَیْهِ وَسَلَّمَ یَتَعَوَّذُ مَنَ الْجَانِّ وَعَیْنِ اْلإِنْسَانِ حَتَّى نَزَلَتِ اْلمُعَوِّذَتاَنِ فَلَمَّا نَزَلَتَا أَخَذَ بَھِمَا وَتَرَكَ مَا سِوَاھُمَا
“Dahulu Rasulullah memohon perlindungan dari jin dan mata jahat manusia sampai turun mu’awwidzatain, ketika dua surat ini turun Beliau memohon perlindungan dengannya dan
meninggalkan yang selain keduanya”
.

Berkenaan dengan hadits di atas, Imam Ibnu Hajar -rahimahullahu- menjelaskan:”Hadits ini tidak menunjukkan adanya larangan memohon perlindungan dengan membaca selian kedua surat ini, akan tetapi hadits ini menunjukkan keutamaan kedua surat ini, disamping itu dalildalil lain juga menetapkan ta’awwudz (meminta  perlindungan) dengan selain keduanya. Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mencukupkan dengan kedua surat ini karena keduanya mengandung permohonan perlindungan yang menyeluruh dari segala perkara yang tidak disukai, secara global maupun detail”.

2.      Surat Al Fatihah
Berdasarkan hadits dari Abu Sa’id Al Khudri - radhiallahu ‘anhu-,
أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى االلهُ عَلَیْهِ وَسَلَّمَ أَتَوْا عَلَى حَيٍّ مِنْ أَحْیَاءِ الْعَرَبِ فَلَمْ یُقْرُوْھُمْ فَبَیْنَمَا ھُمْ كَذَلِكَ إِذْ لُدِغَ سَّیدُ أُوْلَئِكَ فَقَالُوْا ھَلْ مَعَكُمْ مِنْ دَوَاءٍ أَوْ رَاقٍ؟ فَقَالُوْا: إِنَّكُمْ لَمْ تُقْرُوْناَ جُعْلاً فَجَعَلوُا لَھُمْ قَطِیْعاً مِنَ الشَّاءِ فَجَعَلَ یَقْرَأُ بِأُمِّ اْلقُرْآنِ وَیَجْمَعُ بُزَاقَهُ وَیَتْفُلُ
فَبَرَأَ, فَأَتَوْا بِالشَّاءِ, فَقَالُوْا: لاَ نَأْخُذُهُ حَتَّى نَسْأَلَ النَّبِيَّ صَلىَّ االلهُ عَلَیْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلُوْهُ فَضَحِكَ وَقَالَ: ((وَمَا أَدْرَاكَ أَنَّھَا رُقْیَةٌ؟ خُذُوْھَا وَاضْرِبُوْا لِيْ بَسَھْمٍ))
“Bahwa sekelompok sahabat Nabi pernah mengunjungi salah satu perkampungan Arab,  tuan rumah daerah itu tidak mau menjamu mereka. Dalam keadaan demikian, tiba-tiba pemimpin kaum itu disengat binatang berbisa. Kaum itu berkata kepada mereka:”Apakah kalian mempunyai obat atau seorang yang bisa meruqyah? Mereka menjawab:”Sesungguhnya kalian tidak mau menjamu kami. Kami tidak akan membantu kalian sampai kalian memberi kami upah”. Maka mereka pun memberikan beberapa ekor kambing. Salah seorang sahabat kemudian membaca surat Al Fatihah dan mengumpulkan air ludahnya kemudian meludahi (pemimpin yang tersengat tadi). Ia pun sembuh. Merekapun memberikan kambing. Lalu para sahabat berkata,”Kita tidak akan mengambilnya sampai kita bertanya dahulu kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam”. Mereka bertanya kepada Nabi tentangnya. Beliaupun tertawa dan bertanya:”Apa yang membuatmu tahu bahwa (Al Fatihah) adalah ruqyah? Ambillah kambing itu dan berikanlah aku sebagiannya”.

3.      Surat Al Kafirun
Berdasarkan hadits dari Ali, ia berkata:”Seekor kalajengking pernah menyengat Nabi, sedangkan saat itu Beliau sedang shalat. Ketika Beliau selesai dari shalat, Beliau bersabda:
(لَعَنَ اللهُ الْعَقْرَبَ لاَ تَدَعُ مُصَلِّیًا وَلاَ غَیْرَهُ) ثُمَّ دَعَا بَمَاءٍ وَمِلْحٍ وَجَعَل َیَمْسَحُ عَلَیْھَا وَیَقْرَأُ بِقُلْ یَا أَیُّھَا الْكَافِرُوْنَ وَقُلْ أَعُوْذُ بَرَبِّ اْلفَلَقِ وَقُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاس
“Semoga Allah melaknat kalajengking, ia tidak membiarkan orang yang shalat maupun selainnya”. Kemudian Beliau minta dibawakan air dan garam, seraya mengusapkan (di atas lukanya) dan Beliau membaca surat Al Kafirun, suarat Al Falaq dan surat An Nas.

4.      Ayat-ayat yang lain, seperti dua ayat terakhir dari surat Al Baqarah dan ayat kursi.

B.      Bacaan Ruqyah dari Hadits Nabi saw.
a.      Bacaan
أَسْأَلُ االلهَ اْلعَظِیْمَ رَبَّ اْلعَرْشِ اْلعَظِیْمِ أَنْ یَشْفِیَك
“Aku mohon kepada Allah Yang Maha Agung, Pemilik ‘Arsy yang agung, agar Ia menyembuhkanmu”. Doa ini dibaca 7 (tujuh kali).

b.     Bacaan
الَلُّھَّمَ رَبَّ النَّاسِ أَذْھِبِ اْلبَأْسَ وَاشْفِهِ وَأنْتَ الشَّافِي لاَ شِفَاء إِلاَّ شِفَاؤُكَ شِفَاءً لاَ یُغَادِرُ سَقَمًا
“Ya Allah Sang Pemelihara manusia, hilangkanlah penyakitnya dan sembuhkanlah, Engkaulah Yang Maha Menyembuhkan, tidak ada kesembuhan melainkan kesembuhan dariMu semata, kesembuhan yang tidak meninggalkan rasa sakit”.

c.      Bacaan
أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ االلهِ التَّامَّةِ مِنْ كُلِّ شَیْطَانٍ وَھَامَةٍ وَمِنْ كُل عَیْنٍ لاَمَّة
“Aku berlindung kepada Allah dengan kalimatkalimat-Nya yang sempurna, dari setiap kejelekan setan, binatang berbisa, dan dari setiap mata yang jahat”.

d.     Bacaan
أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ االلهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَق
“Aku berlindung kepada Allah dengan kalimatkalimat-Nya yang sempurna, dari setiap kejahatan makhluk-Nya”.

e.      Bacaan
أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ غَضَبِهِ وَعِقَابِهِ وَمِنْ شَرِّ عِبَادِهِ وَمِنْ ھَمَزَاتِ الشَّیَاطِیْنِ وَأَنْ یَحْضُرُوْن
“Aku berlindung kepada Allah dengan kalimatkalimat-Nya yang sempurna, dari kemurkaanNya dan siksa-Nya, dari kejahatan hamba- hamba-Nya, dari gidaan setan dan dari kedatangan mereka kepadaku”.

f.       Bacaan
أَعُوْذُ بِكَلِمَات ِااللهِ التَّامَّاتِ الَّتِيْ لاَ یُجَاوِزُھُنَّ بِرٌّ وَلاَ فَاجِرٌ مِن شَرِّ ماَ خَلَقَ وَذَرَأَ وَبَرَأَ وَمِنْ شَرِّ مَا یَنْـزِلُ مِنَ السَّمَاءِ وَمِن شَرِّ مَا یَعْرُجُ فِیْھَا وَمِنْ شَرِّ مَا ذَرَأَ فِيْ اَلأرْضِ وَمِنْ شَرِّ مَا یَخْرُجُ مِنْھَا وَمِنْ شَرِّ فِتَنِ اللَّیْلِ وَالنَّھَارِ وَمِنْ شَرِّ كُلِّ طَارِق إِلاَّ طَارِقاً یَطْرُقُ بِخَیْرٍ یَا رَحْمَن
“Aku berlindung kepada Allah dengan kalimatkalimat-Nya yang sempurna, yang tidak dapat ditembus oleh orang baik maupun orang jahat, dari kejahatan apa yang telah Dia jadikan dan Dia ciptakan, dari kejahatan yang turun dari langit, dari kejahatan yang naik ke langit, dari kejahatan yang tenggelam ke bumi, dari kejahatan yang keluar dari bumi, dari kejahatan fitnah malam dan siang, dari kejahatan setiap yang datang (di waktu malam), kecuali yang  datang dengan tujuan baik, Wahai Rabb Yang Maha Pemurah”.

g.     Bacaan
بِاسْمِ االلهِ أَرْقِیْكَ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ یُؤْذِیْكَ مِنْ شِرِّ كُلِّ نَفْسٍ أَو عَیْنٍ حَاسِدٍ االلهُ یَشْفِیْكَ بِاسْمِ االلهِ أَرْقِیْك
“Dengan menyebut nama Allah aku meruqyahmu, dari segala sesuatu yang mengganggumu, dari kejelekan setiap jiwa, atau mata jahat dari orang yang dengki, semoga Allah menyembuhkanmu, dengan menyebut nama Allah aku meruqyahmu”.

h.     Bacaan
بِاسْمِ االلهِ یُبْرِیْكَ وَمِنْ كُلِّ دَاءٍ یَشْفِیْكَ وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ إِذا حَسَدَ وَشَرِّ كُلِّ ذِيْ عَيْنٍ
“Dengan menyebut nama Allah, semoga Ia membebaskanmu dan menyembuhkanmu dari segala penyakit, dari setiap kejahatan orang yang dengki jika ia mendengki, dan dari setiap kejahatan mata jahat”.

i.       Bacaan
بِسْمِ اللهِ أَرْقِیْكَ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ یُؤْذِیْكَ مِنْ حَسَدِ حَاسِدٍ وَمِن كُلِّ عَیْنٍ االلهُ یَشْفِیْك
“Dengan menyebut nama Allah aku meruqyahmu, dari segala sesuatu yang mengganggumu, dari kedengkian orang yang dengki dan dari kejahatan setiap orang yang mempunyai mata jahat, semoga Allah menyembuhkanmu”.

BAB III
TATA CARA RUQYAH

Ruqyah sebenarnya bukanlah pengobatan alternatif. Justru seharusnya menjadi pilihan pengobatan pertama tatkala seorang muslim tertimpa penyakit. Sebagai sarana penyembuhan, ruqyah tidak boleh diremehkan keberadaannya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rahimahullahumengatakan: ”Sesungguhnya meruqyah termasuk amaliah yang utama. Meruqyah termasuk kebiasaan para nabi dan orang-orang shalih. Mereka senantiasa menangkis setan-setan dari anak Adam dengan apa yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya”.

Ibnul Qayyim -rahimahullahu- menerangkan: ”Pengobatan dengan ruqyah dapat tercapai dengan terpenuhinya dua aspek, yaitu aspek dari pihak pasien dan dari pihak yang mengobati.

Yang berasal dari pihak pasien, ialah berupa kekuatan dirinya dan kesungguhannya dalam bergantung kepada Allah, serta keyakinannya yang pasti bahwa Al Qur’an adalah penyembuh sekaligus rahmat bagi orangorang yang beriman. Dan ta’awwudz yang benar, yang sesuai antara hati dan lisan, maka yang demikian itu adalah satu bentuk perlawanan, sedangkan seseorang yang melakukan perlawanan, ia tidak akan memperoleh kemenangan dari musuh kecuali dengan dua hal:
Pertama, keadaan senjata yang dipergunakan haruslah benar dan bagus, serta tangan yang mempergunakannya juga harus kuat. Jika salah satu dari keduanya hilang, maka senjata itu tidak banyak berarti; apalagi jika kedua hal ini tidak ada, yaitu hatinya kosong dari tauhid, tawakal dan bergantung kepada Allah, juga tidak memiliki senjata.

Kedua, dari pihak yang mengobati dengan Al Qur’an dan As Sunnah juga harus memenuhi kedua hal di atas.

Karena demikian pentingnya penyembuhan dengan ruqyah ini, maka setiap kaum muslimin semestinya mengetahui tata cara ruqyah yang benar, agar saat melakukannya tidak menyimpang dari kaidah syar’i.

Tata cara ruqyah yang benar adalah sebagai berikut:
1.    Keyakinan bahwa kesembuhan hanya datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, bukan dari selainNya.
2.   Ruqyah harus dengan Al Qur’an, hadits atau dengan nama dan sifat Allah, dengan bahasa Arab atau bahasa yang dapat difahami.
3.    Mengikhlaskan niat dan menghadapkan diri kepada Allah saat membaca dan berdoa.
4.  Membaca surat Al Fatihah dan meniup anggota tubuh yang sakit. Demikian juga dengan membaca surat Al Falaq, An Naas, Al Ikhlash, Al Kafirun.
5.   Menghayati makna yang terkandung dalam bacaan Al Qur’an dan doa yang sedang dibaca.
6.  Orang yang meruqyah hendaknya memperengarkan bacaan ruqyahnya, baik yang berupa ayat-ayat Al Qur’an atau doa-doa dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Supaya penderita belajar dan merasa tenang bahwa ruqyah yang dibacakan sesuai dengan syariat.
7.   Meniup pada tubuh orang yang sakit di tengahtengah pembacaan ruqyah. Masalah ini, menurut Syaikh Al Utsaimin mengandung kelonggaran. Caranya, dengan tiupan yang lembut tanpa keluar air ludah. ‘Aisyah -radhiallahu ‘anha- pernah ditanya tentang tiupan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam meruqyah. Ia menjawab:”Seperti tiupan orang yang makan kismis, tidak ada air ludahnya (yang keluar)”. (H.R Muslim 14/182).

Atau tiupan tersebut disertai keluarnya sedikit air ludah sebagaimana dijelaskan dalam hadits ‘Alaqah bin Shahhar As Salithi, tatkala ia meruqyah seseorang yang gila, ia mengatakan:”Maka aku membacakan Al Fatihah padanya selama tiga hari, pagi dan sore. Setiap kali aku menyelesaikan bacaanku, aku kumpulkan air liurku dan aku ludahkan. Maka dia seolah-olah lepas dari sebuah ikatan”. (H.R Abu Daud 4/3901 dan Al Fathu Ar Rabbani, 17/184)
8.  Jika meniupkan ke dalam media berisi air atau selainnya, tidak masalah. Media terbaik untuk ditiup adalah minyak zaitun atau air hujan. Berdasarkan hadits dari Malik bin Rabi’ah, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
كُلُوْا الزَّیْتَ وَادَّھِنُوْا بِهِ فَإِنَّهُ مِنْ شَجَرَة ٍمُبَارَكَة
“Makanlah minyak Zaitun, dan olesilah tubuh kalian dengannya. Sebab ia berasal dari tumbuhan yang penuh berkah”.

Firman Allah Ta’ala:
وَنَزَّلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً مُبَارَكًا
“Dan Kami turunkan dari langit air yang banyak manfa'atnya” (Q.S Qaaf/50: 9).
9.    Mengusap orang yang sakit dengan tangan kanan. Ini berdasarkan hadits ‘Aisyah –radhiallhu ‘anha- ia berkata:”Rasulullah tatkala dihadapkan pada seseorang yang mengeluh kesakitan, Beliau mengusapnya dengan tangan kanan….”(H.R. Muslim, Syarah An Nawawi (14/180).

Imam An Nawawi berkata:”Dalam hadits ini terdapat anjuran untuk mengusap orang yang sakit dengan tangan kanan dan mendoakannya. Banyak riwayat shahih tentang hal itu, aku telah menghimpunnya dalam kitab Al Adzkar”. Dan menurut Syaikh Al Utsaimin, tindakan yang dilakukan sebagian orang saat meruqyah dengan telepak tangan orang yang sakit atau anggota tubuh tertentu untuk dibacakan kepadanya, maka tidak ada dasarnya sama sekali”.

10. Bagi orang yang meruqyah diri sendiri, letakkan tangan di bagian yang dikeluhkan sambil membaca { }بسم االلهtiga kali, kemudian membaca:
أَعُوْذُ بااللهِ وَقُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أَجِدُ وَأُحَاذِر
Aku berlindung kepada Allah dan kekuasaanNya dari setiap kejelekan yang aku jumpai dan aku takuti”.

Dalam riwayat lain disebutkan “dalam setiap usapan” Doa itu diulangi sebanyak tujuh kali.

Atau membaca :
بِسْمِ االلهِ أَعُوْذُ بِعِزَّةِ االلهِ وَقُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أَجِدُ مِنْ وَجَعِيْ ھَذَا
Dengan menyebut nama Allah, aku berlindung kepada keperkasaan Allah dan kekuasaanNya dari setiap kejelekan yang aku jumpai dari rasa sakitku ini”.

Apabila rasa sakit terdapat diseluruh tubuh, caranya dengan meniup dua telapak tangan dan mengusapkannya ke wajah si sakit dengan keduanya.
11. Bila penyakit terdapat di salah satu bagian tubuh, kepala, kaki, atau tangan misalnya, maka dibacakan pada tempat tersebut. Disebut dalam hadits Muhammad bin Hathib Al Jumahi dari ibunya, Ummu Jamil binti Al jalal, ia berkata:”Aku datang bersamamu dari Habasyah. Tatkala engkau telah sampai di Madinah semalam atau dua malam, aku hendak memasak untukmu, tetapi kayu bakar habis. Aku pun keluar untuk mencarinya. Kemudian bejana tersentuh tanganku dan berguling menimpa lenganmu. Maka aku membawamu ke hadapan nabi. Aku berkata: ”Kupertaruhkan engkau dengan ayah dan ibuku, wahai Rasulullah, ini Muhammad bin Hathib”. Beliau meludah di mulutmu dan mengusap kepalamu serta mendoakanmu. Beliau masih meludahi kedua tanganmu dan membaca doa:
الَلُّھَّمَ رَبَّ النَّاسِ أَذْھِبِ اْلبَأْسَ وَاشْفِهِ وَأنْتَ الشَّافِي لاَ شِفَاءَ إِلاَّ شِفَاؤُكَ شِفَاءً لاَ یُغَادِرُ سَقَمًا
“Ya Allah Sang Pemelihara manusia, hilangkanlah penyakitnya dan sembuhkanlah, Engkaulah Yang Maha Menyembuhkan, tidak ada kesembuhan melainkan kesembuhan dariMu semata, kesembuhan yang tidak meninggalkan rasa sakit”
Dia (Ummu Jamil) berkata:”Tidaklah aku berdiri bersamamu dari sisi Beliau, kecuali tanganmu telah sembuh”.
12. Apabila penyakit ada disekujur badan, atau lokasinya tidak jelas, seperti gila, dada sempit atau keluhan pada mata, maka cara mengobatinya dengan membacakan ruqyah di hadapan si penderita. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Nabi meruqyah orang yang mengeluhkan rasa sakit. Disebutkan dalam riwayat Ibnu majah, dari Ubay bin Ka’ab, ia berkata: ”Maka tatkala ia didudukkan dihadapan Beliau. Kemudian aku mendengar Beliau membentenginya dengan surat Al Fatihah”.

Apakah ruqyah hanya berlaku untuk penyakitpenyakit yang disebutkan dalam nash atau penyakit lainnya secara umum? Dalam hadits-hadits yang membicarakan terapi ruqyah, penyakit yang disinggung adalah pengaruh mata jahat (‘ain), penyebaran bisa racun (humah) dan penyakit namlah (luka-luka yang menjalar di sisi badan dan anggota tubuh lainnya).

Berkaitan dengan masalah ini, Imam An Nawawi menjelaskan:”Maksudnya ruqyah bukan berarti hanya dibolehkan pada tiga penyakit tersebut. Namun maksudnya bahwa Beliau ditanya tentang tiga hal tersebut, dan Beliau membolehkannya. Andai Beliau ditanya tentang yang lainnya, maka akan mengijinkannya pula. Sebab Beliau sudah memberi isyarat untuk selainnya, dan Beliau pun pernah meruqyah untuk selain tiga keluhan tadi”.

PASAL IV
KEKELIRUAN DAN KESALAHAN SEPUTAR RUQYAH
YANG HARUS DIHINDARI

Kebenaran ruqyah sebagai pengobatan sudah dibuktikan oleh para ulama terdahulu. Adapun pada masa sekarang ini (dan juga masa sebelumnya), praktek pengobatan yang dianjurkan oleh sunah nabi ini, nampak mengalami beberapa pergeseran tata cara dan tujuan. Terjadinya pergeseran ini, disamping telah menimbulkan kesalahan persepsi tentang ruqyah, juga dikhawatirkan terjadinya penyimpangan yang berkaitan dengan masalah aqidah.

Penyimpangan yang terjadi, diantaranya berpangkal dari dua hal. Pertama, buta atau kurangnya memahami permasalahan agama. Kedua, membenarkan perkataan jin yang merasuki badan seseorang. Misalnya, jin tersebut melontarkan nasihat kepada orang yang mengobati, dengan mengatakan -misalnya- kondisi penderita ini demikian, bacalah ayat ini dan ayat itu, atau tulislah Al Qur’an dengan cara tertentu kemudian lakukan ini itu. Dari sini, kemudian sang terapis menuruti petunjuk jin yang banyak menjerumuskan orang-orang ke jurang perbuatan haram.

Berikut kami sebutkan diantara kekeliruan dalam praktek ruqyah.

1.        Mengajak jin untuk berkomunikasi dan membenarkan ocehannya.
Sering terjadinya komunikasi dengan jin dan melontarkan pertanyaan kepadanya tentang banyak permasalahan. Baik tentang nama, umur dan keyakinannya. Orang-orang pun mudah mempercayainya. Fenomena ini hanya akan mengantarkan manusia menuju kerusakan dan pelanggaran. Orang-orang seolah melupakan bahwa jin bukan sumber talaqqi ilmu. Sebab kedustaanlah yang mendominasi perkataan jin. Ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kepada Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu:” Dia (saat ini) jujur kepadamu, tetapi ia makhluk yang pendusta”.

Praktek semacam di atas mengandung unsur pelanggaran terhadap petunjuk Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam . Syaikh Al Albani berkata: ”Dahulu, orangorang yang menangani ruqyah di hadapan orang kesurupan, hanyalah ditangani oleh beberapa individu yang shalih dengan jumlah tidak banyak. Sedangkan sekarang ini, jumlah mereka ratusan orang. Bahkan termasuk juga sekumpulan wanita pesolek. Akibatnya praktek ini meyimpang dari statusnya sebagai sarana pengobatan syar’i -yang hanya dilakukan orang-orang yang tahu- berubah menjadi sarana kehidupan yang tidak dikenal syariat ataupun ilmu kedokteran. Justru menurutku hal ini termasuk praktek penipuan dan bisikan setan kepada musuhnya, (yaitu) manusia…Barangsiapa yang meminta pertolongan dengan jin dalam menyingkirkan pengaruh sihir atau ingin mengetahui jati diri jin yang sedang merasuki seseorang -jin itu laki-laki atau perempuan, muslim atau kafir- kemudian dibenarkan oleh orang tadi dan juga orang -orang yang bersamnya, niscaya mereka tercakup dalam kandungan hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam: ”Barangsiapa mendatangi tukang ramal, atau dukun dan membenarkan ucapannya, maka ia telah mengingkari risalah yang diturunkan kepada Muhammad”. (Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim dan imam lainnya. Lihat Al Irwa’ no. 2006). Maka aku ingin memberi masukan untuk mereka - kalau mereka masih melakukannya- saat berkomunikasi dengan jin tidak melebihi petunjuk Nabi yang hanya mengatakan: ”Keluarlah kamu, wahai musuh Allah”. Lihat As Silsilah Ash Shahihah 6/1009-1010.

Komunikasi dalam pengobatan ruqyah ini justru berdampak buruk, diantaranya: Pertama, terjadinya fitnah dan perseteruan antara manusia. Sebab tatkala jin mengatakan bahwa si Fulan adalah orang yang menyusupkan pengaruh sihir, dan ini didengar oleh orang banyak, maka dapat menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kaum muslimin. Berapa banyak tali silaturahim yang putus, rumah tangga yang hancur, dan keluarga yang tercerai berai lantaran perkataan jin yang ada dalam tubuh korban yang kerasukan? Kedua, jin akan tinggal lebih lama dalam tubuh korban karena bacaan Al Qur’an dihentikan dengan komunikasi tersebut.

2.        Menyembelih hewan sembelihan untuk jin.
Perbuatan ini haram, karena termasuk dalam kategori syirik. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: ”Allah melaknati orang yang meyembelih untuk selain Allah”.

3.       Terlalu bergantung pada pengalaman.
Banyak peruqyah yang memiliki cara tersendiri dalam praktek ruqyahnya, yang masing-masing berbeda dengan cara rekan seprofesinya yang lain. Mereka berdalih, cara ini sudah teruji dan ternyata manjur.

Sebagai contoh, penggunaan kayu wangi, penggunaan cara kekerasan dengan intimidasi terhadap terhadap jin, keinginan untuk membakarnya, atau bahkan ingin membunuhnya. Cara yang dipakai kadang dengan pukulan, cekikan (pada korban), menggelapkan ruangan tempat terapi, membakar beberapa bagian tubuh korban. Atau dengan melakukan ruqyah di hadapan orang banyak demi menghemat waktu. Caranya dengan menggunakan pengeras suara di dalam masjid dengan memfokuskan pada ayat-ayat yang diklaim sebagai ayat ruqyah. Syaikh Al Albani mengatakan: ”Tidak setiap pengalaman yang bermanfaat menunjukkan bahwa cara itu sesuai dengan syariat. Sebab, seandainya masalah ini dibuka secara bebas, maka akan membuka kelonggaran untuk kedustaan, bid’ah dan khurafat. Atau tidak menutup kemungkinan terjadinya kesyirikan”.

4.       Berprofesi sebagai pembaca ruqyah.
Ada sebagian orang yang menyibukkan dirinya untuk mengobati pasiennya dengan cara meruqyah. Waktunya hanya habis untuk membaca bacaan-bacaan ruqyah di depan orang-orang yang sakit. Tempat tinggalnya diperluas dan iapun siap menerima pasien yang banyak berdatangan kepadanya. Jadwal kunjungan pun ditetapkan layaknya rumah sakit. Akhirnya kesibukan ini ia jadikan sebagai pekerjaan utama untuk mencari penghidupannya. Fenomena seperti ini akan menimbulkan dampak negatif.

Pertama, mayoritas orang awam akan mengira bahwa peruqyah ini mempunyai keistimewaan tersendiri. Buktinya banyak pasien yang mengunjunginya. Akibatnya timbullah asumsi, bahwa posisi praktisi ruqyah melebihi kedudukan bacaan yang dibacanya, yakni Al Qur’an. Sedangkan semua hal yang berakibat melemahkan kepercayaan seorang muslim kepada Al Qur’an haruslah dicegah.

Kedua, sang peruqyah juga mungkin akan mengira dirinya mempunyai kekuatan luar biasa sehingga setan-setanpun takluk di hadapannya. Lalu akhirnya penyakit ‘ujub (berbangga diri) dan takabbur (sombong) merasukinya, demikian juga penyakit buruk lainnya.

Dahulu, pada masa sahabat, ada sekian sahabat yang dikenal doanya terkabul, seperti Sa’ad bin Abi Waqqash dan juga Uwais Al Qarni dari kalangan tabi’in. meski begitu, tidak diketahui atsar yang menunjukkan adanya orang-orang memadati rumahnya untuk meminta doa. Padahal doa mustajab sangat dibutuhkan orangorang untuk memperbaiki keadaan dunia dan akhiratnya.

Ketiga, orang yang menyibukkan diri untuk meruqyah, sama saja dengan orang yang mengkhususkan diri untuk mendoakan orang lain, karena jenisnya sama. Apakah pantas bagi seorang muslim untuk mengatakan, “Kemarilah, aku akan mendoakan kalian!” Apalagi praktek semacam ini bertentangan dengan anjuran Rasulullah agar seseorang tidak meminta diruqyah, bahkan bisa mematikan semangat orang yang sakit untuk meruqyah diri sendiri dan meminta penyembuhan dari dari Allah semata.

5.       Meminta upah dengan berbagai cara.
Meminta imbalan bisa dilakukan dengan beragam cara. Pertama, memaksa agar diberi upah yang tinggi. Kedua, Menolak meruqyah kecuali setelah menerima uang dari si pasien. Ketiga, ada unsur kesengajaan untuk terus mengulangi pengobatan dan memanjangkan waktunya sehingga dapat menerima upah dalam setiap kali kesempatan pengobatan. Keempat, di antara mereka ada yang mengaku tidak meminta upah, tetapi hanya sekedar menjual air “bertuah” yang sudah dibacakan ruqyah padanya. Air “bertuah” tersebut dicampur dengan beberapa ramuan alami, kemudian dijual dengan harga relatif mahal.


6.       Membuat dzikir-dzikir baru dalam agama.
Dalam beberapa buku disebutkan adanya pengobatan dengan ayat Al Qur’an, dzikir-dzikir yang umum dalam syariat, namun cara ketentuan membacanya ditetapkan dengan cara yang khusus (yang sama sekali tidak pernah diajarkan oleh Nabi-pen).

Sebagai misal, adanya ketentuan agar ayat ini atau dzikir ini dibaca dua puluh kali atau seratus kali. Padahal tidak ada kerterangannya sama sekali dalam agama. Contoh konkretnya dalam buku Itsbatu ‘Ilaaji Jami’i Al Amradhi bi Al Qur’an (ketetapan penyembuhan segala penyakit dengan Al Qur’an). Dalam buku tersebut dijelaskan, setelah penulis menyebutkan ayat-ayat terapi, ia menambahkannya dengan ketentuan “hendaknya ditulis dalam piring buatan Cina, berwarna putih tanpa ornament”. Jelas ketentuan semacam ini merupakan suatu kesalahan fatal.

7.       Meyakini bahwa ruqyah merupakan faktor penyembuh dengan sendirinya.

8.       Membuka praktek pengobatan dengan menanyakan nama dan nama ibu si pasien.

9.        Meminta benda-benda yang pernah dipakai si pasien.

10.  Meminta peyembelihan hewan dengan cara khusus. Bahkan tidak jarang si pasien diminta setelah itu untuk melumuri badannya dengan darah hewan tersebut. Inipun sebuah kesalahan fatal.

11.    Menuliskan beberapa kalimat yang tidak dapat dipahami, mirip kode morse atau huruf yang terputus-putus.

12.    Melakukan komat-kamit dengan kalimat yang tidak bisa difahami.

13.    Membekali pasien dengan benda untuk dipendam di sekitar rumah.

14.     Menyatakan mampu memberi tahu pasien tentang kondisi yang dialaminya.


15.    Terlihat tanda-tanda kefasikan pada seorang peruqyah, seperti malas menunaikan shalat
berjamaah.

16.    Dalam pengobatan, jika pasiennya wanita, dengan berdalih sebagai penyembuhan atau
alasan terpaksa, terkadang peruqyah membuka aurat wanita tersebut, dan akhirnya diapun melihat wanita tersebut dengan leluasa disaat pengobatan berlangsung, dengan meletakkan tangannya di tubuh pasien wanita tersebut, atau bahkan mengoleskan cream di beberapa anggota tubuhnya. Padahal, wanita adalah fitnah terbesar bagi kaum lelaki. Disinilah setan berusaha menjerumuskan para terapis ruqyah yang salah praktek ke dalam jurang pelanggaran syariat dengan dalih penyembuhan, darurat, dan masih banyak alasan lainnya.

Wallaahu A’lam

Disalin dari : Terapi Pengobatan dengan Ruqyah Syar’iyyah (www.salafiyunpad.wordprass.com).

Berlangganan update artikel terbaru via email:

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel