Waris (Materi Kelas XII)
Membuka Relung
Kalbu
Dalam sebuah riwayat dikisahkan ada seorang ulama yang sedang menghadapi sakaratul maut. Ia berwasiat kepada santrinya yang berada di sisinya, ” Tulis permasalahan ini dengan cepat” Sang santri berkata, ”Imam, Engkau sangat lelah, memang masalah apa yang hendak Engkau tulis sekarang”, tanya sang santri. “Anakku, satu kata yang kita tulis bisa berarti bagi muslim lainnya”. Anakku, ada pertanyaan yang
hendak diajukan! Mengapa kamu menginginkan kekayaan”. Kamu mungkin akan menjawab, agar aku dapat hidup bahagia, menikmati segala fasilitas dan membeli semua yang aku inginkan. Jika demikian jawabanmu, kamu tidak sedang mewujudkan
tujuanmu. "Seharusnya kamu katakan, Aku ingin mempunyai banyak harta, agar dapat
disumbangkan di jalan Allah Swt., membiayai pendidikan anak-anakku hingga akrab dengan Allah Swt., membantu mereka yang membutuhkan, dan menginventasikannya dalam kegiatan-kegiatan sosial. Dengan demikian, setiap uang atau harta dan tulisan yang kamu berikan adalah ibadah."
Hidup itu sangat singkat, gunakan umur untuk beribadah dan
meraih keridhaan-Nya. Allah :
مَنْ
كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ
أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لا يُبْخَسُونَ
“Barangsiapa yang menghendaki
kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan
pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan.
Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan
lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah
apa yang telah mereka kerjakan” (Q.S. Hµd/11:15).
A. Tadarus al-Qurān 5-10 Menit sesuai Tema
Sebelum kalian
memulai pembelajaran, lakukan tadarus al-Qurān secara tartil selama 5-10
menit di kelompok kalian masing-masing dipimpin oleh ketua kelompok.
B. Menganalisis dan Mengevaluasi Ketentuan Waris dalam Islam
Ajaran Islam
tidak hanya mengatur masalah-masalah ibadah kepada Allah, Islam juga mengatur
hubungan manusia dengan sesamanya, yang di dalamnya termasuk masalah kewarisan.
Nabi Muhammad saw.. membawa hukum waris Islam untuk mengubah hukum waris
jahiliyah yang sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur kesukuan yang menurut Islam
tidak adil. Dalam hukum waris Islam, setiap pribadi, apakah dia laki-laki atau
perempuan, berhak memiliki harta benda dari harta peninggalan.
Mawaris merupakan
serangkaian kejadian mengenai pengalihan pemilikan harta benda dari seorang
yang meninggal dunia kepada seseorang yang masih hidup. Dengan demikian, untuk
terwujudnya kewarisan harus ada tiga unsur, yaitu:1) orang mati, yang disebut
pewaris atau yang mewariskan, 2) harta milik orang yang mati atau orang yang mati
meninggalkan harta waris, dan 3) satu atau beberapa orang hidup sebagai
keluarga dari orang yang mati, yang disebut sebagai ahli waris.
Ilmu mawaris
adalah ilmu yang diberikan status hukum oleh Allah Swt. Sebagai ilmu yang
sangat penting, karena ia merupakan ketentuan Allah Swt. Dalam frman-Nya yang
sudah terinci sedemikian rupa tentang hukum mawaris, terutama mengenai
ketentuan pembagian harta warisan (al-fµrud al- muqaddarah).
Warisan dalam
bahasa Arab disebut al-mīrās merupakan bentuk masdar (infnitif)
dari kata wari¡a-yari¡u-irsan- mīrā¡an yang berarti berpindahnya sesuatu
dari seseorang kepada orang lain, atau dari suatu kaum kepada kaum lain.
Warisan
berdasarkan pengertian di atas tidak hanya terbatas pada hal-hal yang berkaitan
dengan harta benda saja namun termasuk juga yang nonharta benda. Ayat al-Quran
yang menyatakan demikian diantaranya terdapat dalam Q.S. anNaml/27:16:
“Dan Sulaiman telah mewarisi Daud.”
Demikian juga
dalam hadis Nabi saw. disebutkan yang artinya: “Sesungguhnya ulama itu
adalah pewaris para Nabi. ”Adapun menurut istilah, warisan adalah
berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya
yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau
apa saja yang berupa hak milik legal secara syar’i.
Defnisi lain
menyebutkan bahwa warisan adalah perpindahan kekayaan seseorang yang meninggal
dunia kepada satu atau beberapa orang beserta akibat-akibat hukum dari kematian
seseorang terhadap harta kekayaan Ilmu mawaris biasa disebut dengan ilmu
faraidh, yaitu ilmu yang membicarakan segala sesuatu yang berhubungan
dengan harta warisan, yang mencakup masalah-masalah orang yang berhak menerima
warisan, bagian masing-masing dan cara melaksanakan pembagiannya, serta hal-hal
lain yang berkaitan dengan ketiga masalah tersebut.
C. Dasar-Dasar Hukum Waris
Sumber hukum
ilmu mawaris yang paling utama adalah al-Qur’an, kemudian AsSunnah/hadis
dan setelah itu ijma’ para ulama serta sebagian kecil hasil ijtihad para
mujtahid.
1. Al-Qur’an
Banyak ayat al-Qur’an
yang mengisyaratkan tentang ketentuan pembagian harta warisan ini. Diantaranya
frman Allah :
لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالأقْرَبُونَ
وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالأقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ
مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا
“Bagi orang
laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibubapak dan kerabatnya, dan
bagi rang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan
kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan”
(Q.S. an-Nisa’/4:7).
Ayat-ayat lain
tentang mawaris terdapat dalam berbagai surat, seperti dalam Q.S.
an-Nisa’/4:7 sampai dengan 12 dan ayat 176, Q.S an-Nahl/16:75 dan Q.S
lAhzab/33: ayat 4, sedangkan permasalahan yang muncul banyak diterangkan
oleh As-Sunnah, dan sebagian sebagai hasil ijma’ dan ijtihad.
2. As-Sunnah
a.
Hadis dari Ibnu Mas’ud
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :
تَعَلَّمُوْاالْقُرْآنَ وَعَلِّمُوْهُ النَّاسَ وَتَعَلَّمُوْاالْفَرَائِضَ
وَعَلِّمُوْهَا فَاِنِّيْ امْرُؤٌ مَقْبُوْضٌ وَالْعِلْمُ مَرْفُوْعٌ وَيُوْسِكَ
اَنْ يَخْتَلِفَ اسْمَانِ فِيْ الْفَرَاءِضِ وَالْمَسْأَلَةِ فَلاَ يَجِدَانِ
اَحَدًا ايُخْبِرُ هُمَا
Bersabda
Rasulullah saw : “Pelajarilah al-Qur’an dan ajarkanlah ia kepada manusia,
dan pelajarilah al faraidh dan ajarkanlah ia kepada manusia. Maka sesungguhnya
aku ini manusia yang akan mati, dan ilmu pun akan diangkat. Hampir saja nanti
akan terjadi dua
orang yang berselisih tentang pembagian harta
warisan dan masalahnya; maka mereka berdua pun tidak menemukan seseorang yang
memberitahukan pemecahan masalahnya kepada mereka”. (H.R. Ahmad).
b.
Hadis dari Abdullah bin ‘Amr,
bahwa Nabi saw. bersabda:
اَلْعِلْمُ ثَلَاثَةٌ وَمَا سِوَى ذَالِكَ فَهُوَ فَضْلٌ : آيَةٌ
مُحْكَمَةٌ أَوْ سُنَّةٌ قَاءِمَةٌ أَوْ فَرِيْضَةٌعَادِلَةٌ
“Ilmu itu
ada tiga macam dan yang selain yang tiga macam itu sebagai tambahan saja: ayat
muhkamat, sunnah yang datang dari Nabi dan faraidh yang adil”. (H.R. Abµ
Daµd dan Ibnu Majah).
Berdasarkan
kedua hadis di atas, maka mempelajari ilmu faraidh adalah fardhu kifayah,
artinya semua kaum muslimin akan berdosa jika tidak ada sebagian dari mereka
yang mempelajari ilmu faraidh dengan segala kesungguhan.
3. Posisi
Hukum Kewarisan Islam di Indonesia
Hukum kewarisan
Islam di Indonesia merujuk kepada ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), mulai
pasal 171 diatur tentang pengertian pewaris, harta warisan dan ahli waris. Kompilasi
Hukum Islam merupakan kesepakatan para ulama dan perguruan tinggi berdasarkan Inpres
No. 1 Tahun 1991. Yang masih menjadi perdebatan hangat adalah keberadaan pasal
185 tentang ahli waris pengganti yang memang tidak diatur dalam fqih Islam.
Di bawah ini
secara ringkas dapat dikemukakan tabel hukum waris Islam menurut Kompilasi
Hukum Islam.
Sebab
Hubungan
|
Ahli
Waris
|
Syarat
|
Harta
Waris
|
Dasar
Hukum
|
||
Qur’an/
Hadits
|
KHI
|
|||||
Perkawinan (yang masih terikat status
|
1.
|
Istri/Janda
|
Bila tidak ada anak atau cucu
|
¼
|
An Nisa : 12
|
180
|
Bila ada anak atau cucu
|
1/8
|
|||||
2.
|
Suami/Duda
|
Bila tidak ada anak atau cucu
|
½
|
An Nisa : 12
|
179
|
|
Bila ada anak/cucu
|
¼
|
|||||
Nasab hub. Darah
|
1.
|
Anak perempuan
|
Sendirian (tidak ada anak dan cucu lain
|
½
|
An Nisa : 11
|
176
|
Dua anak perempuan (tidak ada anak/cucu laki-laki)
|
2/3
|
|||||
2.
|
Anak laki-laki
|
Sendirian atau bersma anak(laki-laki atau perempuan).
Ket : anak laki-laki 2 kali lipat anak perempuan
|
asobah
|
An Nisa : 11 dan hadits
|
||
3.
|
Ayah kandung
|
Bila tak ada anak/cucu
|
1/3
|
An Nisa : 11
|
177
|
|
Bila ada anak/cucu
|
1/6
|
|||||
4.
|
Ibu kandung
|
Bila tidak ada anak, cucu, dua saudara/lebih, ayah kandung
|
1/3
|
An Nisa : 11
|
178
|
|
Bila ada anak, cucu, tidak ada dua saudara/lebih, tidak ada
ayah kandung
|
1/6
|
|||||
Bila tidak ada anak, cucu, dua/lebih saudara perempuan, tetapi
ada ayah kandung
|
1/3
dari sisa setelah diambil istri
|
|||||
5
|
Sudara laki-laki atau perempuan seibu
|
Sendirian, tidak ada anak, cucu, ayah kandung
|
1/6
|
An Nisa : 11
|
181
|
|
Dua orang/lebih, tidak ada anak, cucu, ayah kandung
|
1/3
|
|||||
6.
|
Saudara perempuan sekandung atau seayah
|
Sendirian, tidak ada anak, cucu, ayah kandung
|
½
|
An Nisa : 12
|
182
|
|
Dua orang/lebih, tidak ada anak, cucu, ayah kandung
|
2/3
|
|||||
7.
|
Saudara laki-laki sekandung/ seayah
|
Sendirian atau bersama saudara lain, tidak ada anak, cucu,
ayah kandung
|
Asabah
setelah dibagi pembagian lain
|
An Nisa : 12, hadits
|
||
8.
|
Cucu/ keponakan
|
Menggantikan kedudukan orang tua yang menjadi ahli waris.
Persyaratan berlaku sesuai dengan kedudukan ahli waris yang diganti
|
Sesuai
kedudukan ahli waris
|
Tidak ada/ ijtihad
|
185
|
1. Ahli
Waris
Jumlah ahli waris yang berhak
menerima harta warisan dari seseorang yang meninggal dunia ada 25 orang, yaitu
15 orang dari ahli waris pihak laki-laki yang biasa disebut ahli waris
ashabah (yang bagiannya berupa sisa setelah diambil oleh zawil furµd)
dan 10 orang dari ahli waris pihak perempuan yang biasa disebut ahli waris zawil
furµd (yang bagiannya telah ditentukan).
2. Syarat-Syarat
Mendapatkan Warisan
Seorang muslim berhak
mendapatkan warisan apabila memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut :
a. Tidak adanya salah satu penghalang dari penghalang-penghalang
untuk mendapatkan warisan.
b. Kematian orang yang diwarisi, walaupun kematian tersebut
berdasarkan vonis pengadilan. Misalnya hakim memutuskan bahwa orang yang hilang
itu dianggap telah meninggal dunia.
c. Ahli waris hidup pada saat orang yang memberi warisan meninggal
dunia. Jadi, jika seorang wanita mengandung bayi, kemudian salah seorang
anaknya meninggal dunia, maka bayi tersebut berhak menerima warisan dari
saudaranya yang meninggal itu, karena kehidupan janin telah terwujud pada saat
kematian saudaranya terjadi.
3. Sebab-Sebab
Menerima Harta Warisan
Seseorang
mendapatkan harta warisan disebabkan salah satu dari beberapa sebab sebagai
berikut.
a. Nasab (keturunan), yakni kerabat yaitu ahli waris yang terdiri dari
bapak dari orang yang diwarisi atau anak-anaknya beserta jalur kesampingnya
saudara-saudara beserta anak-anak mereka serta paman-paman dari jalur bapak
beserta anak-anak mereka. Allah Swt. berfrman dalam Q.S.an-Nisa/4:33: “Bagi
tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib
kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya...”.
b. Pernikahan, yaitu akad yang sah untuk menghalalkan berhubungan
suami isteri, walaupun suaminya belum menggaulinya serta belum berduaan
dengannya. Allah Swt. berfrman dalam Q.S. an-Nisa/4:12: “Dan bagimu
(suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika
mereka tidak mempunyai anak.”Suami istri dapat saling mewarisi dalam talak raj’i
selama dalam masa idah dan ba’in, jika suami menalak istrinya
ketika sedang sakit dan
meninggal dunia karena sakitnya tersebut.
meninggal dunia karena sakitnya tersebut.
c. Wala’, yaitu seseorang yang memerdekakan budak laki-laki atau budak
wanita. Jika budak yang dimerdekakan meninggal dunia sedang ia tidak
meninggalkan ahli waris, maka hartanya diwarisi oleh yang memerdekakannya itu.
Rasulullah saw. bersabda,
فَاِنَّ الْوَلآءِ لِمَنْ أَعْتَقَ ......
“. . . Wala’ itu milik orang yang
memerdekakannya . . .” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
4. Sebab-Sebab Tidak Mendapatkan Harta
Warisan
Sebab-sebab
yang menghalangi ahli waris menerima bagian warisan adalah sebagai berikut.
a. Kekafiran. Kerabat yang muslim tidak dapat mewarisi kerabatnya
yang kafir, dan orang yang kafr tidak dapat mewarisi kerabatnya yang muslim.
عَنْ أُسَامَةَ ابْنِ زَيْدٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ قَالَ : لاَيَرِشُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ وَلاَ الْكَافِرُ الْمُسْلِمَ
“Dari Usamah bin Zaid radliallahu
‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Orang muslim tidak
mewarisi orang kafr, dan orang kafr tidak mewarisi orang muslim” (H.R.
Bukhari).
b. Pembunuhan. Jika pembunuhan dilakukan dengan sengaja, maka
pembunuh tersebut tidak bisa mewarisi yang dibunuhnya, berdasarkan hadis Nabi
saw.:
“Pembunuh tidak berhak mendapatkan apapun dari harta peninggalan orang yang dibunuhnya.” (¦R. Ibnu Abdil Bar).
“Pembunuh tidak berhak mendapatkan apapun dari harta peninggalan orang yang dibunuhnya.” (¦R. Ibnu Abdil Bar).
c. Perbudakan. Seorang budak tidak dapat mewarisi ataupun diwarisi,
baik budak secara utuh ataupun sebagiannya, misalnya jika seorang majikan
menggauli budaknya hingga melahirkan anak, maka ibu dari anak majikan tersebut
tidak dapat diwarisi ataupun mewarisi. Demikian juga mukatab (budak yang dalam
proses pemerdekaan dirinya dengan cara membayar sejumlah uang kepada
pemiliknya), karena mereka semua tercakup dalam perbudakan. Namun demikian,
sebagian ulama mengecualikan budak yang hanya sebagiannya dapat mewarisi dan
diwarisi sesuai dengan tingkat kemerdekaan yang dimilikinya, berdasarkan sebuah
hadis Rasulullah saw.,yang artinya: “Ia (seorang budak yang merdeka
sebagiannya) berhak mewarisi dan diwarisi sesuai dengan kemerdekaan yang
dimilikinya.”
d. Perzinaan. Seorang anak yang terlahir dari hasil perzinaan tidak
dapat diwarisi dan mewarisi bapaknya. Ia hanya dapat mewarisi dan diwarisi ibunya.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : اِخْتَصَمَ سَعْدٌ وَابْنُ زَمْعَةَ
فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : هُوَ لَكَ يَا عَبْدُ ابْنَ
زَمْعَةَ الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَاحْتَجِبِيْ مِنْهُ يَاسَوْدَةُ زَادَ لَنَا
قُتَيْبَةُ عَنِ اللَّيْثِ وَلْلْعَاهِرِالْحَجَرِ
Dari ‘Aisyah
radliallahu ‘anha mengatakan, Sa’d dan Ibnu Zam’ah bersengketa, lantas Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Anak laki-laki itu milikmu hai Abd bin
Zam’ah, karena anak itu milik pemilik kasur, dan berhijablah engkau darinya ya
Saudah!” Sedang Qutaibah menambah redaksi kepada kami dari Al Laits; “dan bagi
pezina adalah batu” (H.R.Bukhari).
e. Li’an. Anak suami isteri yang melakukan li’an tidak dapat
mewarisi dan diwarisi bapak yang tidak mengakuinya sebagai anaknya. Hal
ini diqiyaskan dengan anak dari hasil perzinaan.
5. Ketentuan
Pembagian Harta Harisan
Pembagian harta
warisan dari seseorang yang meninggal dunia merupakan hal yang terakhir
dilakukan. Ada beberapa hal yang harus dilakukan sebelum harta warisan
dibagikan. Selain pengurusan jenazah, wasiat dan hutang si mayatlah yang harus
terlebih dahulu ditunaikan. Dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang
menegaskan bahwa pembagian harta warisan dilaksanakan setelah penunaian wasiat
dan utang si mayit, seperti yang terdapat dalam Q.S. an-Nisa/4:11.
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأنْثَيَيْنِ
فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِنْ
كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ وَلأبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا
السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ
وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلأمِّهِ الثُّلُثُ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلأمِّهِ
السُّدُسُ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ
“Allah Swt.
mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)anak-anakmu. Yaitu:
bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan, dan
jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga
dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia
memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak;
jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh
ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu
mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat
atau (dan) sesudah dibayar hutangnya”.
Ahli waris
dalam pembagian harta warisan terbagi dua macam yaitu ahli waris zawil furµd
(yang bagiannya telah ditentukan) dan ahli waris ashabah (yang
bagiannya berupa sisa setelah diambil oleh zawil furµd ).
a. Ahli waris Zawil Furµd
Ahli waris yang
memperoleh kadar pembagian harta warisan telah diatur oleh Allah Swt. dalam Q.S.
an-Nisa/4 dengan pembagian terdiri dari enam kelompok, penjelasan
sebagaimana di bawah ini.
1)
Mendapat ½
a) Suami, jika istri yang meninggal tidak ada anak laki-laki, cucu
perempuan atau laki-laki dari anak laki-laki.
b) Anak perempuan, jika tidak ada saudara laki-laki atau saudara perempuan.
c) Cucu perempun, jika sendirian; tidak ada cucu laki-laki dari
anak laki-laki
d) Saudara perempuan sekandung jika sendirian; tidak ada saudara
laki-laki, tidak ada bapak, tidak ada anak atau tidak ada cucu dari anak
laki-laki.
e) Saudara perempuan sebapak sendirian; tidak ada saudara lakilaki,
tidak ada bapak atau cucu laki-laki dari anak laki-laki.
2)
Mendapat ¼
a)
Suami, jika istri yang meninggal
tidak memiliki anak laki-laki atau cucu laki-laki atau perempuan dari anak
laki-laki.
b)
Istri, jika suami yang meninggal
tidak memiliki anak laki-laki atau cucu laki-laki atau perempuan dari anak
laki-laki.
3)
Mendapat 1/8
Yang berhak
mendapatkan bagian 1/8 adalah istri, jika suami memiliki anak atau cucu
laki-laki atau perempuan dari anak lakilaki. Jika suami memiliki istri lebih
dari satu, maka 1/8 itu dibagi rata di antara semua istri.
4)
Mendapat 2/3
a) Dua anak perempuan atau lebih, jika tidak ada anak laki-laki.
b) Dua cucu perempuan atau lebih dari anak laki-laki, jika tidak
ada anak laki-laki atau perempuan sekandung.
c) Dua saudara perempuan sekandung atau lebih, jika tidak ada
saudara perempuan sebapak atau tidak ada anak laki-laki atau perempuan
sekandung atau sebapak.
d) Dua saudara perempuan sebapak atau lebih, jika tidak ada saudara
perempuan sekandung, atau tidak ada anak laki-laki atau perempuan sekandung
atau sebapak.
5)
Mendapat 1/3
a) Ibu, jika yang meninggal dunia tidak memiliki anak laki-laki,
cucu perempuan atau laki-laki dari anak laki-laki, tidak memiliki dua saudara
atau lebih baik laki-laki atau perempuan.
b) Dua saudara seibu atau lebih, baik laki-laki atau perempuan,
jika yang meninggal tidak memiliki bapak, kakek, anak laki-laki, cucu laki-laki
atau perempuan dari anak laki-laki.
c) Kakek, jika bersama dua orang saudara kandung laki-laki, atau
empat saudara kandung perempuan, atau seorang saudara kandung laki-laki dan dua
orang saudara kandung perempuan.
6) Mendapat 1/6
a) Ibu, jika yang meninggal dunia memiliki anak laki-laki atau cucu
laki-laki, saudara laki-laki atau perempuan lebih dari dua yang sekandung atau
sebapak atau seibu.
b) Nenek, jika yang meninggal tidak memiliki ibu dan hanya ia yang
mewarisinya. Jika neneknya lebih dari satu, maka bagiannya dibagi rata.
c) Bapak secara mutlak mendapat 1/6, baik orang yang meninggal
memiliki anak atau tidak.
d) Kakek, jika tidak ada bapak.
e) Saudara seibu, baik laki-laki atau perempuan, jika yang
meninggal dunia tidak memiliki bapak, kakek, anak laki-laki, cucu perempuan
atau laki-laki dari anak laki-laki.
f)
Cucu perempuan dari anak
laki-laki, jika bersama dengan anak perempuan tunggal; tidak ada saudara
laki-laki, tidak ada anak laki-laki paman dari bapak.
g) Saudara perempuan sebapak, jika ada satu saudara perempuan
sekandung, tidak memiliki saudara laki-laki sebapak, tidak ada ibu, tidak ada
kakek, tidak ada anak laki-laki.
b. Ahli Waris ‘Asobah
Ahli waris asobah
adalah perolehan bagian dari harta warisan yang tidak ditetapkan bagiannya
dalam furµd yang enam (1/2, 1/4, 1/3, 2/3, 1/6, 1/8), tetapi
mengambil sisa warisan setelah ashabul furµd mengambil bagiannya. Ahli
waris ashabah bisa mendapatkan seluruh harta warisan jika ia sendirian,
atau mendapatkan sisa warisan jika ada ahli waris lainnya, atau tidak
mendapatkan apa-apa jika harta warisan tidak tersisa, berdasarkan sabda
Rasulullah saw.:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ : أَلْحِقُوْا الْفَرَائِضَ بِاَهْلِهَا فَمَا بَقِيَ فَهُوَ
لِاَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ
Dari Ibnu ‘Abbas
radliallahu ‘anhuma dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Berikanlah bagian fara’idh (warisan yang telah ditetapkan) kepada yang berhak,
maka bagian yang tersisa bagi pewaris lelaki yang paling dekat (nasabnya).”
(H.R. Bukhari)
Bila salah
seorang di antara ahli waris didapati seorang diri, maka berhak mendapatkan
semua harta warisan, namun bila bersama ashabul furµd, ia menerima sisa
bagian dari mereka. Dan bila harta warisan habis terbagi oleh ashabul furµd,
maka ia tidak mendapatkan apa-apa dari harta warisan tersebut.
Ahli waris ‘asobah
mengambil seluruh harta warisan, jika ia sendiri atau tidak ada ahli waris
lain.
Seseorang
wafat
|
Meninggalkan
seorang anak laki-laki
|
Seorang
anak laki-laki
|
Memperoleh
seluruh harta ‘asobah
|
Ahli waris ‘asobah mengambil
sisa warisan setelah ahli waris furµd
Seorang
wafat
|
Meninggalkan
istri, anak perempuan, ibu dan paman
|
Istri
|
Memperoleh
1/8 berdasarkan ketentuan furud
|
Anak
perempuan
|
Memperoleh
1/2 berdasarkan ketentuan furud
|
Ibu
|
Memperoleh
1/6 berdasarkan ketentuan furud
|
Paman
|
Memperoleh
sisa harta secara ‘asobah
|
Jika harta
warisan tidak tersisa, ahli waris ‘asobah tidak mendapatkan apa-apa.
Seorang
wafat
|
Meninggalkan
dua saudara kandung perempuan, dua saudara perempuan seibu, dan anak saudara
(kemenakan
|
Dua
saudara kandung perempuan
|
Memperoleh
2/3 berdasarkan ketentuan furud
|
Dua
saudara perempuan seibu
|
Memperoleh
2/3 berdasarkan ketentuan furud
|
Anak
saudara (kemenakan)
|
Tidak
akan mendapatkan harta waris
|
Ahli waris ‘asobah
terbagi menjadi dua, yaitu sebagai berikut.
1. Asobah binnasab (hubungan nasab), terbagi menjadi 3 bagian yaitu:
a.
Asobah bi an-nafsi, yaitu semua
ahli waris laki-laki (kecuali suami, saudara laki-laki seibu, dan mu’tiq yang
memerdekakan budak), mereka adalah sebagai berikut.
1)
Anak laki-laki
2)
Putra dari anak laki-laki
seterusnya ke bawah
3)
Ayah
4)
Kakek ke atas
5)
Saudara laki-laki sekandung
6)
Saudara laki-laki seayah
7)
Anak saudara laki-laki sekandung
dan seterusnya ke bawah
8)
Anak saudara laki-laki seayah
9)
Paman sekandung
10)
Paman seayah
11)
Anak laki-laki paman sekandung dan
seterusnya ke bawah
12)
Anak laki-laki paman seayah dan
seterusnya ke bawah
Untuk lebih
memahami derajat kekuatan hak waris ‘asobah bi annafsi, maka kedua belas
ahli waris di atas dapat dikelompokkan menjadi empat arah yaitu, sebagai
berikut.
1) Arah anak, mencakup seluruh anak laki-laki keturunan anak
lakilaki, mulai cucu, cicit dan seterusnya.
2) Arah bapak, mencakup ayah, kakek dan seterusnya dari pihak
laki-laki, misalnya ayah dari bapak, ayah dari kakek, dan seterusnya.
3) Arah saudara laki-laki, mencakup saudara kandung laki-laki, saudara laki-laki seayah, termasuk keturunan
mereka, namun hanya yang laki-laki. Adapun saudara laki-laki seibu tidak
termasuk, karena termasuk aŝhabul furūd.
4) Arah paman, mencakup paman kandung dan paman seayah, termasuk
keturunan mereka dan seterusnya.
Apabila dalam
pembagian harta warisan terdapat beberapa ahli waris aŝobah bi an-nafsi, maka
pengunggulannya dilihat dari segi arah. Arah anak lebih didahulukan dari yang
lain. Jika anak tidak ada, maka cucu laki-laki dari keturunan laki-laki dan
seterusnya.
Apabila dalam
pembagian harta warisan terdapat beberapa ahli waris aŝobah bi an-nafsi, sedangkan mereka berada dalam satu arah, maka
pengunggulannya dilihat dari derajat kedekatannya kepada pewaris, misalnya
seseorang wafat meninggalkan anak serta cucu keturunan anak laki-laki. Maka hak
waris secara ‘asobah diberikan kepada anak, sementara cucu tidak
mendapatkan bagian apapun dari warisan tersebut.
Adapun dasar
hukum didahulukannya anak dari pada ibu bapak adalah frman Allah Swt. dalam Q.S.
an-Nisā’ /4:11, yaitu: “Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi
masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal
itu mempunyai anak.”
b.
Asobah bil ghair
Ahli waris ‘asobah
bil ghair ada empat (4), semuanya dari kelompok wanita. Dinamakan ‘ashabah
bil ghair adalah karena hak ‘asobah keempat wanita itu bukanlah
karena kedekatan kekerabatan mereka dengan pewaris, tetapi karena adanya ‘asobah
lain (‘asobah bin nafsih). Adapun ahli waris asobah bil ghair yaitu:
1) Anak perempuan bisa menjadi ‘a£abah bila bersama dengan
saudara laki-lakinya.
2) Cucu perempuan keturunan anak laki-laki bisa menjadi ‘asobah bila
bersama dengan saudara laki-lakinya atau anak laki-laki pamannya (cucu
laki-laki dari anak laki-laki), baik yang sederajat dengannya atau bahkan lebih
di bawahnya.
3) Saudara kandung perempuan akan menjadi ‘asobah bila
bersama dengan saudara kandung laki-laki.
4) Saudara perempuan seayah akan menjadi ‘asobah bila
bersama dengan saudara laki-laki.
Dalam kondisi
seperti ini bagian laki-laki dua kali lipat bagian perempuan. Mereka
mendapatkan bagian sisa harta yang telah dibagi, jika harta telah habis
terbagi, maka gugurlah hak waris bagi mereka.
c.
Asobah ma’al gair
Orang yang termasuk ‘asobah ma’al gair ada dua, yaitu
seperti berikut ini.
1) Saudara perempuan sekandung satu orang atau lebih berada bersama
dengan anak perempuan satu atau lebih atau bersama putri dari anak laki-laki
satu atau lebih atau bersama dengan keduanya.
2) Saudara perempuan seayah satu orang atau lebih bersama dengan
anak perempuan satu atau lebih atau bersama putri dari anak laki-laki satu atau
lebih atau bersama dengan keduanya.
Adapun landasan
hukum adanya ‘asobah ma’al gair adalah hadis Rasulullah saw. bahwa Abu
Musa al-Asy’ari ditanya tentang hak waris anak perempuan, cucu perempuan
keturunan anak lakilaki, dan saudara perempuan sekandung atau seayah. Abu Musa
menjawab: “Bagian anak perempuan separo dan saudara perempuan separo.” (HR.
Al-Bukhari).
2. Asobah bissabab (karena Sebab)
Yang termasuk ‘asabah
bissabab (karena sebab) adalah orang-orang yang membebaskan budak, baik
laki-laki atau perempuan. Dari penjelasan tentang pembagian harta warisan di
atas, jika semua ahli waris itu ada atau berkumpul, maka ada tiga kondisi yang
harus diperhatikan, seperti berikut ini.
a. Jika semua ahli waris laki-laki berkumpul, maka yang berhak
mendapatkan warisan hanyalah 3 orang yaitu: ayah, anak-laki-laki dan suami,
dengan pembagian ayah 1/6, suami 1/4 dan sisanya adalah anak laki-laki (‘‘asobah).
b. Jika semua ahli waris perempuan berkumpul, maka yang berhak
mendapatkan warisan adalah 5 orang yaitu: istri 1/8, ibu 1/6, anak perempuan ½,
dan sisanya saudara perempuan sekandung sebagai ‘asobah.
c. Jika terkumpul semua ahli waris laki-laki dan perempuan, maka
yang berhak mendapatkan warisan adalah lima orang yaitu ibu, bapak, anak
laki-laki, anak perempuan, suami/istri dengan pembagian sebagai berikut.
1) Jika pada ahli waris tersebut terdapat istri, maka bagian ayah
1/6, ibu 1/6, istri 1/8, dan sisanya anak laki-laki dan perempuan sebagai ‘asobah
dengan ketentuan anak laki-laki dua kali lipat anak perempuan.
2) Jika pada ahli waris tersebut terdapat suami, maka bagian ayah
1/6, ibu 1/6, suami 1/4 dan sisanya anak laki-laki dan perempuan sebagai ‘asobah
dengan ketentuan anak laki-laki dua kali lipat anak perempuan.
E. Mempraktikkan Pelaksanaan Pembagian Waris dalam Islam
Di bawah ini diberikan contoh-contoh kasus (masalah) dan
pembagian warisan berdasarkan syariat Islam.
1. Seseorang meninggal dunia, meninggalkan harta sebesar
Rp.180.000.000,00.
Ahli warisnya terdiri atas istri, ibu dan 2 anak
laki-laki.
Hasilnya
adalah:
Pembagian
bagian Isteri 1/8, Ibu 1/6 dan 2 anak laki-laki ‘asobah. Asal masalahnya
dari 1/8 dan 1/6 (KPK = Kelipatan Persekutuan Terkecil dari bilangan penyebut 8
dan 6) adalah 24.
Maka
pembagiannya adalah:
Istri : 1/8 x
24 x Rp. 180.000.000,00 = Rp. 22.500.000,00
Ibu : 1/6 x 24
x Rp. 180.000.000,00 = Rp. 30.000.000,00
Dua anak
laki-laki : 24 – (3+4 ) x Rp. 180.000.000,00 = Rp.127.500.000,00
Masing-masing
anak laki-laki memperoleh mawaris
sebesar = Rp.
127.500.000,00 : 2 = Rp.63.750.000,00
2. Penghitungan dengan menggunakan ‘aul. Seseorang meninggal
dunia, meninggalkan harta sebesar Rp. 42.000.000. Ahli warisnya terdiri atas
suami dan 2 saudara perempuan sekandung.
Pembagian
hasilnya adalah sebagai berikut.
Bagian suami
1/2 dan bagian dua saudara perempuan sekandung 2/3. Asal masalahnya dari 1/2
dan 2/3 (KPK= Kelipatan Persekutuan Terkecil dari bilangan penyebut 2 dan 3)
adalah 6, sementara pembilangnya adalah 7, maka terjadi 7/6. Untuk penghitungan
dalam kasus ini harus menggunakan ‘aul, yaitu dengan menyamakan penyebut
dengan pembilangnya. (aulnya:1), sehingga masing-masing bagian menjadi.
Suami mendapatkan
: 3/7 × Rp. 42.000.000=Rp.18.000.000,00
Dua saudara
perempuan sekandung : 4/7 × Rp. 42.000.000=Rp.24.000.000,00
3. Penghitungan dengan menggunakan rad. Seorang meninggal
dunia, meninggalkan harta sebesar 120.000.000. Ahli warisnya terdiri dari ibu dan
seorang anak perempuan.
Pembagian
hasilnya adalah sebagai berikut :
Bagian ibu 1/6
dan bagian satu anak perempuan adalah 1/2. Asal masalahnya dari 1/6 dan 1/2
(KPK dari bilangan penyebut 6 dan 2) adalah 6. Maka bagian masing-masing adalah
1/6 dan 3/6. Dalam hal ini masih tersisa harta waris sebanyak 2/6. Untuk
penghitungan dalam kasus ini harus menggunakan rad, yaitu membagikan kembali
harta waris yang tersisa kepada ahli warisnya. Jika dilihat bagian ibu 1/6 dan
satu anak perempuan 3/6, maka perbandingannya adalah 1:3, maka 1/6 + 3/6 = 4/6,
dijadikan 4/4 dengan perbandingan 1:3, maka hasilnya adalah.
Ibu mendapatkan
: 1/4 × Rp.120.000.000,00 = Rp.30.000.000,00
Satu anak
perempuan mendapatkan : 3/4 × Rp.120.000.000,00 = Rp.90.000.000,00
F. Manfaat Hukum Waris Islam
Hukum waris
Islam ini memberi jalan keluar yang adil untuk semua ahli waris. Berikut ini,
beberapa manfaat yang dapat dirasakan, yaitu sebagai berikut :
1. Terciptanya ketenteraman hidup dan suasana kekeluargaan yang
harmonis. Syariah adalah sumber hukum tertinggi yang harus ditaati. Orang yang
paling durhaka adalah orang yang tidak mematuhi/menaati hukum syariah. Syariah
itu sendiri diturunkan untuk kebaikan umat Islam dan memberi jalan keluar yang
paling sesuai dengan karakter dan watak dari masing-masing manusia. Syariah
menjadi hukum tertinggi yang harus ditaati, dan diterima dengan ikhlas.
2. Manciptakan keadilan dan mencegah konflik pertikaian. Keadilan
yang telah diterapkan, mencegah munculnya berbagai konflik dalam keluarga yang
dapat berujung pada tragedi pertumpahan darah. Meski dalam praktiknya, selalu
saja muncul penentangan yang bersumber dari akal pikiran.
3. Peduli Kepada Orang Lain sebagai Cerminan Pelaksanaan Ketentuan
Waris dalam Islam.
Melaksanakan
sepuluh asas dalam hukum waris Islam,yaitu;.Asas integrity/ketulusan (Q.S Ali
‘Imran/3: 85)Asas ta’abbudi /penghambaan diri (Q.S. An Nissa’/4: 13-14),Asas
Huququl Maliyah/Hak-Hak kebendaan (KHI pasal 175),Asas Huququn thabi’iyah
/Hal-Hak Dasar, Asas ijbari /keharusan, kewajiban,Asas bilateral, (Q.S.
An-Nisaa’/4:7dan Q.S. An-Nisaa’/4:11-12) (Q.S. An-Nisaa’/4:176), Asas
individual, (Q.S. An-Nisaa’/4:8 dan Q.S. An-Nisaa’/4:33), Asas keadilan yang
berimbang (Q.S. Al-Baqarah /2:233 dan Q.S. AthThalaaq/65:7), Asas kematian, dan
Asas membagi habis harta warisan. (KHI Pasal; 192 & 193),akan menumbuhkan
kepedulian kepada orang lain sebagai cerminan pelaksanaan ketentuan waris dalam
Islam.
Menerapkan
Perilaku Mulia
Sikap dan perilaku mulia yang harus kita kembangkan sebagai
implementasi dari penerapan hukum mawaris antara lain seperti berikut ini.
1. Meyakini bahwa hukum waris merupakan ketetapan Allah Swt. yang
paling lengkap dijelaskan oleh al-Qur’an dan hadis Nabi.
2. Hukum untuk mempelajari ilmu waris adalah fardzu kifayah, karena
itu setiap muslim harus ada yang mempelajarinya.
3. Meninggalkan keturunan dalam keadaan berkecukupan lebih baik
dari pada meninggalkannya dalam keadaan miskin, karena Islam memerintahkan,”Berikanlah
sesuatu hak kepada orang yang memiliki hak itu”(HR.al-Khamsah,kecuali an-Nasai).
4. Seseorang sebelum meninggal sebaiknya berwasiat, yaitu pesan
seseorang ketika masih hidup agar hartanya disampaikan kepada orang tertentu
atau tujuan lain, yang harus dilaksanakan setelah orang yang berwasiat itu
meninggal (Q.S.an-Nisa/4:11).
5. Ayat-ayat al-Qur’an dalam menjelaskan pembagian harta
kepada ahli waris menempatkan urutan kewarisan secara sistimatis didasarkan
atas jauh dekatnya seseorang kepada si mayit yang meninggalkan harta warisan.
Oleh karena itu, dalam menentukan ahli waris harus sesuai ketetapan hukum waris
yaitu dimulai dari anak-anak yang dikategorikan sebagai keturunan langsung,
kemudian kedua orangtua mayit (leluhur) dan terakhir kepada
saudara-saudara yang dikelompokkan sisi dan ditambah dengan suami/isteri dari
yang meninggal.
6. Berhukum dengan hukum waris Islam merupakan suatu kewajiban,
karena setiap pribadi, apakah dia laki-laki atau perempuan dari ahli waris,
berhak memiliki harta benda hasil peninggalan sesuai ketentuan syariat Islam
secara adil.
Disalin
dari Buku PAI dan Budi Pekerti Edisi Revisi Tahun 2018 (Kemdikbud).
EVALUASI
Pilihlah jawaban yang tepat!
1.
Sebelum Islam datang, perempuan
tidak menerima harta warisan sedikit pun dengan dalih tidak memiliki
konstribusi dalam membela kehormatan keluarga. Setelah Islam datang, sebagai
agama rahmatan lil alamin, memberikan waris pada perempuan, karena . . .
a. ketentuan dari Allah Swt.
b. belas kasihan kepada mereka
c. mereka berhak menerimanya
d. membela kehormatan mereka
e. menghargai jasa besar mereka
2.
Tidak semua harta peninggalan
dapat dibagi kepada ahli waris. Sebelum harta diwariskan, harus dibersihkan
dulu dari . . .
a. Riba
b. Riya
c. Hutang
d. Kotoran
e. Ashabah
3.
Menghitung warisan harus memahami
apa yang disebut dengan furudhul muqadarah, yang artinya adalah . . .
a. hak-hak waris para pewaris
b. ketentuan pembagian harta warisan
c. peralihan benda waris pada ahli waris
d. bagian-bagian tertentu dari waris
e. ketentuan sebelum harta diwaris
4.
Kelompok penerima warisan, ada
yang digolongkan ke dalam dzawil furudh,ada juga yang dari ashabah,
menurut bahasa ashabah berarti . . . .
a. Terhalang
b. Bertambah
c. harta yang rusak
d. kelebihan harta
e. sisa harta
5.
Dekat tidaknya ahli waris,
menentukan hak waris yang diperoleh. Berikut ini ahli waris yang tidak pernah
hilang hak warisnya adalah . . . .
a. saudara laki-laki dan perempuan
b. anak laki-laki dan perempuan
c. cucu laki-laki dan perempuan
d. paman dan bibi
e. ayah dan ibu
6.
Setiap ahli waris memiliki bagian
yang berbeda tergantung dekat tidaknya dengan yang meninggal. Dan ahli waris
yang mendapat bagian 2/3 adalah . . . .
a. anak perempuan lebih dari satu
b. suami apabila tidak ada anak
c. cucu laki laki lebih dari satu
d. saudara perempuan tunggal
e. anak perempuan tunggal
7.
Kedekatan nasab, sangat memberi
arti tentang bagian yang diterima. Salah satu ahli berikut ini yang termasuk ashabah
binnafsi adalah . . . .
a. Istri
b. Suami
c. anak perempuan
d. saudara laki-laki seibu
e. saudara laki-laki sekandung
8.
Perhatikanlan Q.S.an-Nis±’/4:7 di
bawah ini!. . .
Terjemahan yang tepat untuk kalimat yang di atas adalah . . . .
a. baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah
ditetapkan
b. dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabat-kerabatnya
c. dari harta peninggalan keluarga dan kerabatnya
d. dan bagi seorang wanita ada hak bagian (pula)
e. bagi orang laki-laki ada hak bagian
9.
Apabila kelompok ahli waris
laki-laki semuanya masih ada, yang berhak mendapat bagian harta warisan adalah
. . . .
a. suami, anak laki-laki, anak perempuan dan cucu
b. anak laki-laki, anak perempuan, istri dan bapak
c. suami, anak laki-laki,dan anak perempuan
d. anak laki-laki, cucu laki-laki, dan bapak
e. suami, bapak, dan anak laki-laki
10.
Adanya hukum waris memberikan
keadilan bagi kehidupan manusia. Pernyataan di bawah ini merupakan hikmah
adanya hukum waris, kecuali . . . .
a. sebagai pembelajaran untuk menjadi lebih bijaksana
b. menjalin persaudaraan berdasarkan hak dan kewajiban
c. menghindari perselisihan yang mungkin terjadi antar ahli
waris
d. menghilangkan pilih kasih dari orangtua kepada anak anaknya
e. melindungi hak anak yang masih kecil atau dalam keadaan lemah
Tugas
1. Hal-hal apa saja yang perlu dilakukan sebelum harta warisan
dibagikan?
2. Kapan harta warisan dapat dibagi menurut Q.S. an-NisA’/4:117?