Bersatu dalam Keragaman dan Demokrasi (Materi Kelas XII)
Bersatu dalam Keragaman
dan Demokrasi
A.
Mengkritisi
Sekitar Kita
Pemikiran Mahmud Syaltut (Cendekiawan Muslim,
Mantan Rektor al-Azhar Kairo Mesir) Syaltut menegaskan sebagai berikut.
Walaupun banyak perbedaan pendapat dalam memahami akidah, namun ada tiga hal
yang harus dibatasi dalam upaya menyikapi perbedaan.
Ø Akidah
harus dipahami dari dalil yang Qat’i (dalil yang bersumber dari alQur’an dan hadis yang shahih).
Ø Pemahaman
akidah dari dalil yang tidak Qat’i, pada akhirnya akan menimbulkan perbedaan pendapat. Dalam
keadaan demikian, maka tidak ada satu pendapat pun yang boleh diklaim paling
benar dengan menafkan pendapat lain.
Ø Materi-materi
akidah yang termuat dalam buku-buku tauhid bukanlah rangkuman dari semua
masalah akidah yang diwajibkan Tuhan kepada kita. Kitab-kitab itu adalah karya
ilmiah yang mungkin dapat berbeda dengan teks al-Qur’an maupun al-hadis, Oleh karenanya, ia menjadi lahan ijtihād para ulama.
Bagaimana pendapatmu tentang pemikiran Mahmud
Syaltut di atas terkait dengan nilai-nilai demokrasi? Cermati masalah-masalah
sosial berikut. Kemudian tanggapi dengan kritis dari sudut pandang ajaran Islam
dan demokrasi!
1.
Sering terjadi orang tua dengan profesi tertentu
(misalnya dokter), mengkader anak-anak mereka agar menjadi seperti diri mereka.
Tanpa peduli apakah anak-anak mereka berminat atau tidak. Bagaimana pandanganmu
dalam masalah ini?
2.
Apabila seorang pejabat di suatu perusahaan,
melarang karyawannya yang muslim menjalankan salat Jum’at dan menutup aurat
(bagi yang wanita). Bagaimana pendapatmu?
3.
Seorang da’i muslim meyakinkan jamaahnya bahwa
tata cara salat yang diajarkannya itulah yang benar. Jika ada dai lain
mengatakan hal yang berbeda, maka berarti dai tersebut tidak paham ajaran
agama. Bagaimana pendapatmu?
B.
Bersatu
dalam Keragaman
Pluralitas, kebhinnekaan, keragaman, perbedaan dan
kemajemukan merupakan fakta yang tidak dapat dipungkiri. Bahkan dalam tradisi
Islam al-Qurān
menegaskan hal ini.
Pluralitas, kebhinnekaan, keragaman, perbedaan, dan kemajemukan merupakan
sunnatullah (Ketetapan Allah Swt.) Sebagaimana dijelaskan dalam beberapa
frman-Nya, antara lain QS.Hud/11:118 dan QS.al-Maidah/5:48. Hal ini dapat dimaklumi bahwa perbedaan dan keragaman
merupakan Keputusan Allah Swt. dan Kehendak Allah Swt. Karena dari situlah
Allah Swt. akan menguji umatNya. Ibn Jarir al-Thabari dalam bukunya; ”Jami’
al-Bayan f Ta’wil Ay Al-quran Juz XX“ menyatakan bahwa jika Allah Swt.
menghendaki, Allah Swt. dapat menjadikan seluruh syariat menjadi satu. Namun,
Allah Swt. membeda-bedakannya untuk menguji umat-Nya, dan untuk mengetahui
siapa yang taat dan yang tidak taat.
Allah Swt. dalam beberapa frman-Nya menganjurkan
hal-hal sebagai berikut. Agar sesama masyarakat dunia, dan sesama umat
beragama, saling berlombalomba dalam kebajikan dan bukan dalam keburukan
apalagi kekerasan.
Keragaman terlihat dalam setiap penciptaan,
binatang dan tumbuhan, hal gaib dan hal nyata. Keragaman juga terjadi baik pada
pemahaman, ide, pemikiran, doktrindoktrin, kecenderungan-kecenderungan maupun
ras, jenis kelamin, bahasa, suku, bangsa, negara, agama, dan sebagainya.
Perhatikan QS.al-Hujurat/49:13.
Keragaman pemahaman akan semakin heterogen seiring
dengan kian kompleksnya permasalahan dalam kehidupan. Di sinilah diperlukan
perubahan cara pandang kita terhadap orang lain atau kelompok lain yang secara
kebetulan berbeda.
Islam telah memberikan sinyal bagaimana kaum
muslimin menyelesaikan perbedaan dengan bermusyawarahlah dalam segala urusan (QS.Ali-Imran/3:159), kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah Swt. (al-Qurān) dan Rasul (Sunahnya) (QS.an-Nisa’/4:59). Jika kamu benar-benar beriman kepada Allah Swt. dan
hari kemudian, dan janganlah kebencian kepada kelompok lain menjadikan kamu
tidak berlaku adil atau obyektif (QS.al-Maidah/5:8). Oleh karena itu, Indonesia dengan kebhinnekaan dan keragamannya
dalam berbagai aspek mengembangkan sistem demokrasi dalam bernegara.
C.
Menganalisis
dan Mengevaluasi Makna Q.S. Āli-Imrān/3:159 dan Hadis Terkait
tentang Bersikap Demokratis
Di dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang berisi pesan-pesan mulia tentang bersikap
demokratis, tentang musyawarah dan toleransi dalam perbedaan. Sebelum
dijelaskan isi kandungannya, sebaiknya dibaca terlebih dahulu Q.S. ali-Imr’an/3:159 di bawah ini dengan tartil. Kemudian dihafal!
1.
Membaca dengan Tartil
Ayat-ayat al-Qur’an dan Terjemahannya yang Mengandung Pesan Sikap
Demokratis.
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا
غَلِيظَ الْقَلْبِ لانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ
لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
”Maka disebabkan rahmat dari Allah Swt. lah kamu berlaku lemah
lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah
mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka,
mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan
itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada
Allah Swt. Sesungguhnya Allah Swt. Menyukai orang-orang yang bertawakal
kepada-Nya.”
2. Penerapan Tajwid
Kalimat
|
Hukum Bacaan
|
Alasan
|
فَبِمَا
|
Mad thabi’i
|
Fathah diikuti alif
|
رَحْمَةٍ مِّنَ
|
Idgham bigunnah
|
Tanwin diikuti mim
|
لِنْتَ
|
Ikhfa
|
Nun sukun diikuti ta
|
فَظًّ غَلِيْضَ
|
Idzhar
|
Tanwin diikuti ghain
|
لاَ نَفَضُّوْا
|
Ikhfa
|
Nun sukun diikuti fa
|
مِنْ حَوْلِكَ
|
Idzhar
|
Nun sukun diikuti ha
|
عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِر
|
Idzhar syafawi
|
Mim sukun diikuti wau
|
فِى الأَمْرِ
|
Idzhar qamariyar
|
Alif lam sukun diikuiti hamzah
|
عَلَى اللهِ
|
Tafhim
|
Lafad jalalah datang setelah fathah
|
الْمُتَوَكِّلِيْنَ
|
Mad ‘arid lissukun
|
Mad thabi’i diikuti huruf hidup yang dimatikan
|
3. Kosakata Baru
Kalimat
|
Arti
|
Kalimat
|
Arti
|
فَبِمَا رَحْمَةٍ
|
Karena kasih sayang/rahmat
|
وًاسْتَغْفِرْ
|
Dan mintakanlah ampunan
|
مِّنَ اللهِ
|
Dari Allah
|
وَشَاوِرْهُمْ
|
Dan bermusyawarahlah dengan mereka
|
لِنْتَ
|
Kamu bersikap lemah lembut
|
فِى الْأَمْرِ
|
Dalam segala urusan
|
لَهُمْ
|
Kepada/untuk mereka
|
فَاِذَا
|
Maka apabila
|
فَظًّا
|
Kasar (dalam perkataan)
|
عَزَمْتَ
|
Kamu bertekad bulat
|
غَلِيْظَ الْقَلبِ
|
Keras hati
|
فَتَوَكَّلْ
|
Maka bertawakallah
|
لاَنْفَضُّوْا
|
Niscaya mereka bubar/menjauh
|
يُحِبُّ
|
Mencintai
|
مِنْ حَوْلِكَ
|
Dari hadapanmu/ sekelilingmu
|
الْمُتَوَكِّلِيْنَ
|
Orang-orang yang bertawakal
|
فَافُ عَنْهُم
|
Maka maafkanlah mereka
|
|
|
4. Penjelasan/Tafsir
Ayat di atas menjelaskan bahwa meskipun dalam
keadaan genting, seperti terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh sebagian
kaum muslimin dalam Perang Uhud sehingga menyebabkan kaum muslimin menderita
kekalahan, tetapi Rasulullah saw. tetap lemah lembut dan tidak marah terhadap
para pelanggar. Bahkan memaafkan dan memohonkan ampun untuk mereka. Seandainya Rasulullah
saw. bersikap keras, tentu mereka akan menaruh benci kepada beliau. Dalam
pergaulan sehari-hari, beliau juga senantiasa memberi maaf terhadap orang yang
berbuat salah serta memohonkan ampun kepada Allah Swt. terhadap
kesalahan-kesalahan mereka.
Di samping itu, Rasulullah saw. juga senantiasa
bermusyawarah dengan para sahabatnya tentang hal-hal yang penting, terutama
dalam masalah peperangan. Oleh karena itu, kaum muslimin patuh terhadap
keputusankeputusan yang diperoleh tersebut, karena merupakan keputusan mereka bersama
Rasulullah saw. Mereka tetap berjuang dengan tekad yang bulat di jalan Allah
Swt.. Keluhuran budi Rasulullah saw. inilah yang menarik simpati orang lain,
tidak hanya kawan bahkan lawan pun menjadi tertarik, sehingga mau masuk Islam.
Dalam ayat di atas, tertera tiga sifat dan sikap
yang secara berurutan disebut dan diperintahkan untuk dilaksanakan sebelum
bermusyawarah, yaitu lemah lembut, tidak kasar, dan tidak berhati keras.
Meskipun ayat tersebut berbicara dalam konteks perang uhud, tetapi esensi
sifat-sifat tersebut harus dimiliki dan diterapkan oleh setiap muslim, terutama
ketika hendak bermusyawarah.
Adapun sikap yang harus diambil setelah bermusyawarah
adalah memberi maaf kepada semua peserta musyawarah, apapun bentuk
kesalahannya. Jika semua peserta musyawarah bersikap “memaafkan”, maka yang
terjadi adalah saling memaafkan. Dengan demikian, diharapkan tidak ada lagi
sakit hati atau dendam yang berkelanjutan di luar musyawarah, baik karena
pendapatnya tidak diakomodasi atau karena sebab lain.
Dalam al-Qur’an terdapat banyak ayat yang berbicara tentang nilai-nilai dalam
demokrasi. Seperti dalam Firman Allah Swt. di dalam Q.S. al-Isra’/17:70, Q.S. al-Baqarah/2:30, Q.S. al-Ĥujurat/49:13, Q.S.
asy-Syµra/42:38 serta
berbagai surat lain. Inti dari semua ayat tersebut membicarakan bagaimana menghargai
perbedaan, kebebasan berkehendak, mengatur musyawarah dan lain sebagainya yang
merupakan unsur-unsur dalam demokrasi.
Di samping ayat-ayat tersebut, banyak juga hadis
Rasulullah saw. Yang mengisyaratkan pentingnya demokrasi, karena beliau dikenal
sebagai pemimpin yang paling demokratis. Di antaranya adalah hadis yang menegaskan
bahwa beliau adalah orang yang paling suka bermusyawarah dalam banyak hal,
seperti hadits berikut:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ مَا
رَاَيْتُ اَحَدًا اَكْثَرَ مَشُوْرَةً لِاَصْحَابِهِ مِنَ الرّضسُوْلِ اللهِ
“Dari Abu Hurairah, ia berkata, Aku tak
pernah melihat seseorang yang lebih sering bermusyawarah dengan para sahabat
dari pada Rasulullah saw.” [HR. at-Tirmidzi].
Hadis di atas menjelaskan bahwa menurut pandangan para sahabat, Rasulullah
saw. adalah orang yang paling suka bermusyawarah. Dalam hal urusan penting,
beliau senantiasa melibatkan para sahabat untuk dimintai pendapatnya, seperti
dalam urusan strategi perang. Sikap Rasulullah saw. tersebut menunjukkan salah
satu bentuk kebesaran jiwa beliau dan kerendahan hatinya (tawadhu’),
meskipun memiliki status sosial paling tinggi dibanding seluruh umat manusia,
yaitu sebagai utusan Allah Swt. Namun demikian, kedudukannya yang begitu mulia
di sisi Allah Swt. itu sama sekali tidak membuatnya merasa “paling benar” dalam
urusan kemanusiaan yang terkait dengan masalah ijtihadiy (dapat
dipikirkan dan dimusyawarahkan karena bukan wahyu), padahal dapat saja
Rasulullah saw. Memaksakan pendapat beliau kepada para sahabat, dan sahabat
tentu akan menurut saja. Tetapi itulah Rasulullah saw. manusia agung yang tawadhu’ dan
bijaksana.
Sikap rendah hati Rasulullah saw. hanya satu dari akhlak mulia
lainnya, seperti kesabaran dan lapang dada untuk memberi maaf kepada semua
orang yang bersalah, baik diminta atau pun tidak. Itulah Rasulullah saw.
teladan terbaik dalam berakhlak.
Dari ayat al-Qur’an dan hadis tersebut, dapat dipahami bahwa musyawarah termasuk salah
satu kebiasaan orang yang beriman. Hal ini perlu diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari seorang muslim terutama dalam hal-hal yang memang perlu
dimusyawarahkan. Misalnya, hal yang sangat penting, sesuatu yang ada
hubungannya dengan orang banyak/masyarakat, pengambilan keputusan, dan
lain-lain.
Dalam kehidupan bermasyarakat, musyawarah menjadi sangat penting karena
hal-hal sebagai berikut.
a.
Permasalahan yang sulit menjadi mudah setelah dipecahkan oleh orang
banyak lebih-lebih kalau yang membahas orang yang ahli.
b.
Akan terjadi kesepahaman dalam bertindak.
c.
Menghindari prasangka yang negatif, terutama masalah yang ada hubungannya
dengan orang banyak.
d.
Melatih diri menerima saran dan kritik dari orang lain.
e.
Berlatih menghargai pendapat orang lain.
D.
Demokrasi
dan Syura’
Selama ini, demokrasi diidentikkan dengan syura
dalam Islam karena adanya titik persamaan di antara keduanya. Untuk melihat
lebih jelas titik persamaan tersebut, perlu kita pahami pengertian dari
keduanya.
Ø
Demokrasi
Secara kebahasaan, demokrasi terdiri atas dua
rangkaian kata, yaitu “demos” yang berarti rakyat dan “cratos” yang berarti kekuasaan. Secara istilah, kata demokrasi ini
dapat ditinjau dari dua segi makna.
Pertama, demokrasi
dipahami sebagai suatu konsep yang berkembang dalam kehidupan politik
pemerintah, yang di dalamnya terdapat penolakan terhadap adanya kekuasaan yang
terkonsentrasi pada satu orang dan menghendaki peletakan kekuasaan di tangan
orang banyak (rakyat) baik secara langsung maupun dalam perwakilan.
Kedua,
demokrasi dimaknai sebagai suatu konsep yang menghargai hak-hak dan kemampuan
individu dalam kehidupan bermasyarakat. Dari defnisi ini, dapat dipahami bahwa
istilah demokrasi awalnya berkembang dalam dimensi politik yang tidak dapat
dihindari.
Secara historis, istilah demokrasi memang berasal
dari Barat. Namun, jika melihat dari sisi makna, kandungan nilai-nilai yang
ingin diperjuangkan oleh demokrasi itu sendiri sebenarnya merupakan gejala dan
cita-cita kemanusiaan secara universal (umum, tanpa batas agama maupun etnis).
Ø
Syura’
Menurut bahasa, dalam kamus Mu’jam Maqayis al-Lugah, syura memiliki dua pengertian, yaitu menampakkan dan memaparkan
sesuatu atau mengambil sesuatu.
Adapun menurut istilah, beberapa ulama terdahulu
telah memberikan defnisi syura. Mereka diantaranya adalah sebagai berikut.
a.
Ar Raghib al-Ashfahani dalam kitabnya Al Mufradat f Gharib al-Qur’an, mendefnisikan syura sebagai “proses mengemukakan pendapat
dengan saling
mengoreksi antara peserta syura”.
mengoreksi antara peserta syura”.
b.
Ibnu al-Arabi al-Maliki dalam Ahkam al-Qur’an, mendefnisikannya dengan “berkumpul untuk meminta pendapat
(dalam suatu permasalahan) yang peserta syuranya saling mengeluarkan pendapat yang dimiliki”.
c.
Defnisi syura yang diberikan oleh pakar fkih kontemporer dalam asy Syura fi Zilli nizaami al-Hukm al-Islami, di antaranya adalah “proses menelusuri pendapat para ahli
dalam suatu permasalahan untuk mencapai solusi yang mendekati kebenaran”.
Ø
Titik Temu
(Persamaan) antara Demokrasi dan Syura
Dari beberapa defnisi Syura dan demokrasi di atas, yaitu dapat memahami bahwa Syura hanya merupakan mekanisme kebebasan berekspresi dan penyaluran
pendapat dengan penuh keterbukaan dan kejujuran. Hal tersebut menjadi pertanda
adanya penghargaan terhadap pihak lain. Sementara demokrasi, menjangkau ruang
lingkup yang lebih luas. Demokrasi menyoal nilai-nilai egaliter, penghormatan terhadap potensi individu, penolakan terhadap
kekuasaan tirani, dan memberi kesempatan kepada semua pihak untuk
berpartisipasi dalam mengurus pemerintahan. Secara tegas demokrasi bermain pada
wilayah politik. Jika demikian halnya, maka pada satu sisi, Syura merupakan bagian dari proses berdemokrasi. Di dalamnya terkandung
nilai-nilai yang diusung demokrasi. Pada sisi lain, nilai-nilai luhur yang
diusung oleh konsep demokrasi adalah nilai-nilai yang sejalan dengan visi Islam
itu sendiri. Nilai Islami bukanlah sesuatu yang berasal dari kaum muslimin saja
(dari dalam), tetapi semua nilai yang mengandung kebaikan dan kemaslahatan,
baik dari Barat maupun Timur. Karena Islam tidak mengenal Barat dan Timur
(diskriminasi), justru sikap Islam terhadap hal-hal baru yang baik adalah “akomodatif”.
Namun demikian, pro dan kontra tentang demokrasi dalam
Islam masih terus berlanjut. Oleh karena itu, untuk mempertajam analisis kalian
dalam menyikapi konsep demokrasi, ada baiknya kalian mengenali lebih lanjut pandangan-pandangan
para ulama tentang hal tersebut.
E.
Keterkaitan
antara Demokrasi dengan Sikap Tidak Memaksakan Kehendak sesuai Pesan Q.S. Āli-Imrān/3:159
dan Hadis Terkait
Demokrasi
terbentuk menjadi suatu sistem pemerintahan, sebagai respon kepada masyarakat
umum yang ingin menyuarakan pendapat mereka. Dengan adanya sistem demokrasi,
kekuasaan absolut satu pihak melalui tirani, kediktatoran, dan pemerintahan
otoriter lainnya dapat dihindari. Demokrasi memberikan kebebasan berpendapat
bagi rakyat. Namun demikian, dalam pandangan para ulama/cendekiawan muslim
tentang demokrasi terbagi menjadi dua pandangan
utama, yaitu; pertama menolak sepenuhnya, dan kedua menerima dengan syarat tertentu. Berikut pandangan para ulama yang mewakili kedua pendapat tersebut.
utama, yaitu; pertama menolak sepenuhnya, dan kedua menerima dengan syarat tertentu. Berikut pandangan para ulama yang mewakili kedua pendapat tersebut.
Ø
Abul A’la
Al-Maududi
Al-Maududi
secara tegas menolak demokrasi. Menurutnya, Islam tidak mengenal paham
demokrasi yang memberikan kekuasaan besar kepada rakyat untuk menetapkan segala
hal. Demokrasi adalah buatan manusia sekaligus produk dari pertentangan Barat
terhadap agama, sehingga cenderung sekuler. Karenanya, al-Maududi menganggap
demokrasi modern (Barat) merupakan sesuatu yang bersifat syirik. Menurutnya,
Islam menganut paham teokrasi (berdasarkan hukum Tuhan).
Ø
Mohammad Iqbal
Menurut
Iqbal, sejalan dengan kemenangan sekularisme atas agama, demokrasi modern
menjadi kehilangan sisi spiritualnya, sehingga jauh dari etika. Demokrasi yang
merupakan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat telah
mengabaikan keberadaan agama. Parlemen sebagai salah satu pilar demokrasi dapat
saja menetapkan hukum yang bertentangan dengan nilai agama kalau anggotanya
menghendaki. Karenanya, menurut Iqbal Islam tidak dapat menerima model
demokrasi Barat yang telah kehilangan basis moral dan spiritual. Atas dasar
itu, Iqbal menawarkan sebuah konsep demokrasi spiritual yang dilandasi oleh
etik dan moral ketuhanan. Jadi, yang ditolak oleh Iqbal bukan demokrasi an
sich, seperti yang dipraktekkan di Barat.
Kemudian,
Iqbal menawarkan sebuah model demokrasi sebagai berikut:
a.
Tauhid sebagai
landasan asasi.
b.
Kepatuhan pada
hukum.
c.
Toleransi
sesama warga.
d.
Tidak dibatasi
wilayah, ras, dan warna kulit.
e.
Penafsiran
hukum Tuhan melalui ijtihad.
Ø
Muhammad Imarah
Menurut
Imarah, Islam tidak menerima demokrasi secara mutlak dan juga tidak menolaknya
secara mutlak. Dalam demokrasi, kekuasaan legislatif (membuat dan menetapkan
hukum) secara mutlak berada di tangan rakyat. Sementara, dalam sistem syura
(Islam) kekuasaan tersebut merupakan wewenang Allah Swt.. Dialah pemegang
kekuasaan hukum tertinggi. Wewenang manusia hanyalah menjabarkan dan merumuskan
hukum sesuai dengan prinsip yang digariskan Tuhan serta berijtihad untuk
sesuatu yang tidak diatur oleh ketentuan Allah Swt.. Jadi, Allah Swt. berposisi
sebagai alSyâri’ (legislator) sementara manusia berposisi sebagai faqîh
(yang memahami dan menjabarkan hukum-Nya).
Demokrasi
Barat berpulang pada pandangan mereka tentang batas kewenangan Tuhan. Menurut
Aristoteles, setelah Tuhan menciptakan alam, Dia membiarkannya. Dalam flsafat
Barat, manusia memiliki kewenangan legislatif dan eksekutif. Sementara, dalam pandangan
Islam, Allah Swt. pemegang otoritas tersebut. Allah Swt. berfrman: “Ingatlah,
menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah Swt. Maha Suci Allah Swt.,
Tuhan semesta alam”. (Q.S.al-A’râf/7:54). Inilah batas yang membedakan
antara sistem syariah Islam dan demokrasi Barat. Adapun hal lainnya seperti
membangun hukum atas persetujuan umat, pandangan mayoritas, serta orientasi
pandangan umum, dan sebagainya adalah sejalan dengan Islam.
Ø
Yusuf
al-Qardhawi
Menurut
Al-Qardhawi, substasi demokrasi sejalan dengan Islam. Hal ini bisa dilihat dari
beberapa hal, misalnya sebagaimana berikut.
a.
Dalam
demokrasi, proses pemilihan melibatkan banyak orang untuk mengangkat seorang
kandidat yang berhak memimpin dan mengurus keadaan mereka. Tentu saja, mereka
tidak boleh akan memilih sesuatu yang tidak mereka sukai. Demikian juga dengan
Islam. Islam menolak seseorang menjadi imam salat yang tidak disukai oleh
ma’mum di belakangnya.
b.
Usaha setiap
rakyat untuk meluruskan penguasa yang tirani juga sejalan dengan Islam. Bahkan amar
ma’ruf dan nahi mungkar serta memberikan nasihat kepada pemimpin
adalah bagian dari ajaran Islam.
c.
Pemilihan umum
termasuk jenis pemberian saksi. Oleh karena itu, barangsiapa yang tidak
menggunakan hak pilihnya sehingga kandidat yang mestinya layak dipilih menjadi
kalah dan suara mayoritas jatuh kepada kandidat yang sebenarnya tidak layak,
berarti ia telah menyalahi perintah Allah Swt. untuk memberikan kesaksian pada
saat dibutuhkan.
d.
Penetapan hukum
yang berdasarkan suara mayoritas juga tidak bertentangan dengan prinsip Islam.
Contohnya dalam sikap Umar yang tergabung dalam syura. Mereka ditunjuk Umar
sebagai kandidat khalifah dan sekaligus memilih salah seorang di antara mereka
untuk menjadi khalifah berdasarkan suara terbanyak. Sementara lainnya yang tidak
terpilih harus tunduk dan patuh. Jika suara yang keluar tiga lawan tiga, maka
mereka harus memilih seseorang yang diunggulkan dari luar mereka, yaitu
Abdullah ibnu Umar. Contoh lain adalah penggunaan pendapat jumhur ulama dalam
masalah khilafyah. Tentu saja, suara mayoritas yang diambil ini adalah selama
tidak bertentangan dengan nash syariat secara tegas.
e.
Kebebasan pers
dan kebebasan mengeluarkan pendapat, serta otoritas pengadilan merupakan
sejumlah hal dalam demokrasi yang sejalan dengan Islam.
Ø
Salim Ali al
Bahasnawi
Menurut
Salim Ali al-Bahasnawi, demokrasi mengandung sisi yang baik yang tidak
bertentangan dengan Islam dan memuat sisi negatif yang bertentangan dengan
Islam. Sisi baik demokrasi adalah adanya kedaulatan rakyat selama tidak
bertentangan dengan Islam. Sementara, sisi buruknya adalah penggunaan hak
legislatif secara bebas yang dapat mengarah pada sikap menghalalkan yang haram
dan mengharamkan yang halal. Karena itu, ia menawarkan adanya Islamisasi
demokrasi sebagai berikut:
a.
Menetapkan
tanggung jawab setiap individu di hadapan Allah Swt.
b.
Wakil rakyat
harus berakhlak Islam dalam musyawarah dan tugas-tugas lainnya.
c.
Mayoritas bukan
ukuran mutlak dalam kasus yang hukumnya tidak ditemukan dalam al-qur’an dan
Sunnah (Q.S. an-Nisa/4:59) dan (Q.S. al-Ahzab/33:36).
d.
Komitmen
terhadap Islam terkait dengan persyaratan jabatan, sehingga hanya yang bermoral
yang duduk di parlemen.
Menerapkan
Perilaku Mulia
Bersikap
Demokratis sesuai Pesan Q.S.ali-Imran/3:159 dengan cara menerapkan perilaku
demokratis, antara lain sebagai berikut.
Ø
Bersikap lemah
lembut jika hendak menyampaikan pendapat (tidak berkata kasar ataupun bersikap
keras kepala).
Ø
Menghargai
pendapat orang lain.
Ø
Berlapang dada
untuk saling memaafkan.
Ø
Memohonkan
ampun untuk saudara-saudara yang bersalah.
Ø
Menerima
keputusan bersama (hasil musyawarah) dengan ikhlas.
Ø
Melaksanakan
keputusan-keputusan musyawarah dengan tawakal;
Ø
Senantiasa
bermusyarawarah tentang hal-hal yang menyangkut kemaslahatan bersama.
Ø
Menolak segala
bentuk diskriminasi atas nama apapun.
Ø
Berperan aktif
dalam bidang politik sebagai bentuk partisipasi dalam membangun bangsa.
Disalin dari : Buku PAI Edisi Revisi 2018
EVALUASI
Pilihlah
jawaban yang tepat!
1. Perhatikan penggalan ayat berikut!
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا
غَلِيظَ الْقَلْبِ لانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ
Sikap
dan perilaku yang sejalan dengan pesan ayat di atas dalam berdakwah adalah . .
. .
a.
lemah lembut.
b.
berkata jujur.
c.
menepati janji.
d.
tegas dalam berdakwah.
e.
konsekuen dengan perkataan.
2. Perhatikan penggalan ayat berikut!
فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأمْرِ
Akhlak
terpuji yang terdapat dalam ayat di atas antara lain ialah . . . .
a.
memintakan ampun dan bersabar.
b.
memberi maaf dan meminta maaf.
c.
meminta maaf dan berkata santun.
d.
meminta maaf dan memintakan ampun.
e.
memberi maaf dan memintakan ampun.
3. Arti kata فَاعْفُ عَنْهُمْ adalah . . . .
a.
memintakan ampun dan bersabar.
b.
memberi maaf dan meminta maaf.
c.
meminta maaf dan berkata santun.
d.
mohonkan ampun mereka.
e.
memberi maaf dan memintakan ampun.
4. Arti kata وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ adalah . . .
a.
memberi maaf dan meminta maaf.
b.
meminta maaf dan berkata santun.
c.
dan mintakan ampun untuk mereka.
d.
meminta maaf dan memintakan ampun.
e.
memberi maaf dan memintakan ampun.
5. Arti kata عَزَمْتَ adalah . . .
a.
kamu berserah diri.
b.
kamu berpendapat.
c.
kamu bertekad bulat.
d.
kamu bermusyawarah.
e.
kamu menolak pendapat.
6. Maksud dari kata فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ adalah
. . .
a.
perintah beribadah.
b.
perintah berakhlak mulia.
c.
perintah bermusyawarah.
d.
perintah berserah diri kepada Allah Swt.
e.
perintah tunduk dan patuh kepada Allah Swt.
7. Berdasarkan Q.S. Ali ’Imran/3:159 bahwa
persoalan yang dihadapi oleh umat manusia harus diselesaikan . . .
a.
secara damai.
b.
melalui musyawarah.
c.
melibatkan pejabat dan tokoh setempat.
d.
melalui jalur hukum.
e.
dengan memberi kesempatan pihak lain untuk memilki kesadaran.
8. Agar musyawarah dapat berjalan dengan lancar, maka
surat Q.S. Ali ’Imran/3:159 menekankan kepada peserta musyawarah agar
membersihkan jiwanya dengan . . .
a.
saling memaafkan dan memohonkan ampunan kepada Allah Swt.
b.
saling menahan diri dan menjaga emosinya.
c.
saling menerima kritik, saran dan protes sekalipun.
d.
saling membangun komunikasi yang harmonis dalam suasana yang kondusif.
e.
saling menyelamatkan diri masing-masing agar tidak termakan issu dan terpancing
emosinya.
9. Arti kata وَشَاوِرْهُمْ فِي الأمْرِ adalah…
a.
dan berlemah lembutlah terhadap sesama mereka.
b.
dan janganlah berlaku kasar terhadap sesama mereka.
c.
dan janganlah berhati keras terhadap sesama mereka.
d.
dan maafkanlah mereka atas segala kesalahannya.
e.
dan bermusyawarahlah di antara mereka dalam urusan itu.
10. Perhatikan ayat berikut!
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا
غَلِيظَ الْقَلْبِ لانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ
لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
Ayat
di atas memberikan gambaran bahwa adanya berbagai konflik antara agama,
golongan, dan paham dalam suatu agama banyak disebabkan oleh cara menyelesaikan
perbedaan di antara mereka yang kurang tepat dan bijaksana. Pernyataan di bawah
ini, yang tidak termasuk kandungan ayat tersebut adalah . . .
a.
lemah-lembut dalam mengajak umat manusia kepada Islam.
b.
pemaaf, guna mencari solusi dalam menyelesaikan masalah.
c.
dermawan, karena Allah Swt. mencintai orang yang dermawan.
d.
suka bermusyawarah dalam menyelesaikan berbagai masalah.
e.
menanamkan nilai-nilai demokrasi dalam berbangsa dan bernegara.
Tugas
1. Sebutkan tiga sifat yang seharusnya dimiliki oleh
setiap orang yangmelakukan musyawarah!
2. Mengapa al-Qur’an menganjurkan musyawarah
secara kolektif? Jelaskan!
3. Jelaskan sikap demokratis yang sejalan dengan Q.S.
Ali ‘Imran/3:159?
4. Di mana titik temu antara konsep musyawarah dan
konsep demokrasi!
5. Jelaskan pandangan Yusuf al-Qardhawi tentang
demokrasi secara singkat!