-->

Pernikahan dalam Islam


tribusnews.com
TADARUS AL QUR’AN SESUAI TEMA

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“ Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu hidup tentram bersamanya. Dan Dia (juga) telah menjadikan di antaramu (suami, istri) rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir” (Q.S.ar-Rµm/30:21).

Menganalisis dan Mengevaluasi
Ketentuan Pernikahan dalam Islam

Pernikahan adalah sunnatullah yang berlaku umum bagi semua makhluk Nya. Firmah Allah :
وَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah Swt”(Q.S. adz-Dzariyat /51:49).

Islam sangat menganjurkan pernikahan, karena dengan pernikahan manusia akan berkembang, sehingga kehidupan umat manusia dapat dilestarikan. Tanpa pernikahan regenerasi akan terhenti, kehidupan manusia akan terputus, dunia pun akan sepi dan tidak berarti, karena itu Allah Swt. mensyariatkan pernikahan sebagaimana difrmankan:
وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ أَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُونَ وَبِنِعْمَةِ اللَّهِ هُمْ يَكْفُرُونَ
“Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari nikmat Allah?” (Q.S. an-Nahl/16:72).

Ayat tersebut menguatkan rangsangan bagi orang yang merasa belum sanggup, agar tidak khawatir karena belum cukup biaya, karena dengan pernikahan yang benar dan ikhlas, Allah Swt. akan melapangkan rezeki yang baik dan halal untuk hidup berumah tangga, sebagaimana dijanjikan Allah Swt. dalam frman-Nya:
وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah Swt. akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Swt. Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui” (Q.S. an-Nµr/24:32).

Rasulullah saw. juga banyak menganjurkan kepada para remaja yang sudah mampu untuk segera menikah agar kondisi jiwanya lebih sehat, seperti dalam hadis berikut.

Wahai para pemuda! Siapa saja di antara kalian yang sudah mampu maka menikahlah, karena pernikahan itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Jika belum mampu maka berpuasalah, karena berpuasa dapat menjadi benteng (dari gejolak nafsu)”. (¦R. Al-Bukhari dan Muslim).

Prinsip-Prinsip Pernikahan dalam Islam

1.  Pengertian Pernikahan
Secara bahasa, arti “nikah” berarti “mengumpulkan, menggabungkan, atau menjodohkan”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ”nikah” diartikan sebagai “perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri (dengan resmi) atau “pernikahan”. Sedang menurut syari’ah, “nikah” berarti akad yang menghalalkan pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya yang menimbulkan hak dan kewajiban masing-masing. Dalam Undang-undang Pernikahan RI (UUPRI) Nomor 1 Tahun 1974, defnisi atau pengertian perkawinan atau pernikahan ialah “ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri, dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang berbahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Pernikahan sama artinya dengan perkawinan. Allah Swt. berfrman:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلا تَعُولُوا
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” (Q.S. an-Nisa/4:3).

2.  Tujuan Pernikahan
a.  Untuk memenuhi tuntutan naluri manusia yang asasi, Rasulullah saw., bersabda :
عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : تُنْكَحُ الْمَرْأةُ لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِيْنِهَا فَاضْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
Dari Abu Hurairah r.a, dari Nabi Muhammad saw., beliau bersabda: “wanita dinikahi karena empat hal: karena hartanya, kedudukannya, kecantikannya, dan karena agamanya. Nikahilah wanita karena agamanya, kalau tidak kamu akan celaka” (¦R. Al-Bukhari dan Muslim)
b.  Untuk mendapatkan ketenangan hidup, firman Allah :
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir” (Q.S. ar-Rµm/30:21)
c.  Untuk membentengi akhlak.
Rasulullah saw. bersabda: “Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah, karena nikah itu lebih menundukkan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa (shaum), karena shaum itu dapat membentengi dirinya”. (¦R. al-Bukhari dan Muslim)
d.  Untuk meningkatkan ibadah kepada Allah Swt
“Jika kalian bersetubuh dengan istri-istri kalian termasuk sedekah!”. Mendengar sabda Rasulullah saw. para sahabat keheranan dan bertanya: “Wahai Rasulullah saw., seorang suami yang memuaskan nafsu birahinya terhadap istrinya akan mendapat pahala?” Nabi Muhammad saw. menjawab, “Bagaimana menurut kalian jika mereka (para suami) bersetubuh dengan selain istrinya, bukankah mereka berdosa? “ Jawab para shahabat, ”Ya, benar”. Beliau bersabda lagi, “Begitu pula kalau mereka bersetubuh dengan istrinya (di tempat yang halal), mereka akan memperoleh pahala!” (HR. Muslim).
e.  Untuk mendapatkan keturunan yang saleh, firman Allah :
وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ أَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُونَ وَبِنِعْمَةِ اللَّهِ هُمْ يَكْفُرُونَ
“Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari nikmat Allah?” (Q.S. anNahl/16:72).
f.   Untuk menegakkan rumah tangga yang Islami Dalam al-Quran disebutkan bahwa Islam membenarkan adanya talaq (perceraian), jika suami istri sudah tidak sanggup lagi mempertahankan keutuhan rumah tangga. Firman Allah :
الطَّلاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ وَلا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلا أَنْ يَخَافَا أَلا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَعْتَدُوهَا وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang lalim” (Q.S. al-Baqarah/2:229).

3.  Hukum Pernikahan
Para ahli fkih sependapat bahwa hukum pernikahan tidak sama penerapannya kepada semua mukallaf, melainkan disesuaikan dengan kondisi masingmasing, baik dilihat dari kesiapan ekonomi, fsik, mental ataupun akhlak. Karena itu hukum nikah bisa menjadi wajib, sunah, mubah, haram, dan makruh. Penjelasannya sebagai berikut :
a.    Wajib, yaitu bagi orang yang telah mampu baik fsik, mental, ekonomi maupun akhlak untuk melakukan pernikahan, mempunyai keinginan untuk menikah, dan jika tidak menikah, maka dikhawatirkan akan jatuh pada perbuatan maksiat, maka wajib baginya untuk menikah. Karena menjauhi zina baginya adalah wajib dan cara menjauhi zina adalah dengan menikah.
b.    Sunnah, yaitu bagi orang yang telah mempunyai keinginan untuk menikah namun tidak dikhawatirkan dirinya akan jatuh kepada maksiat, sekiranya tidak menikah. Dalam kondisi seperti ini seseorang boleh melakukan dan boleh tidak melakukan pernikahan. Tapi melakukan pernikahan adalah lebih baik daripada mengkhususkan diri untuk beribadah sebagai bentuk sikap taat kepada Allah.
c.    Mubah, bagi yang mampu dan aman dari ftnah, tetapi tidak membutuhkannya atau tidak memiliki syahwat sama sekali sepertiorang yang impoten atau lanjut usia, atau yang tidak mampu menafkahi, sedangkan wanitanya rela dengan syarat wanita tersebut harus rasyidah (berakal). Juga mubah bagi yang mampu menikah dengan tujuan hanya sekedar untuk memenuhi hajatnya atau bersenang-senang, tanpa ada niat ingin keturunan atau melindungi diri dari yang haram.
d.    Haram, yaitu bagi orang yang yakin bahwa dirinya tidak akan mampu melaksanakan kewajiban-kewajiban pernikahan, baik kewajiban yang berkaitan dengan hubungan seksual maupun berkaitan dengan kewajiban-kewajiban lainnya. Pernikahan seperti ini mengandung bahaya bagi wanita yang akan dijadikan istri. Sesuatu yang menimbulkan bahaya dilarang dalam Islam.

Tentang hal ini Imam al-Qurtubi mengatakan, “Jika suami mengatakan bahwa dirinya tidak mampu menafkahi istri atau memberi mahar , dan memenuhi hak-hak istri yang wajib, atau mempunyai suatu penyakit yang menghalanginya untuk melakukan hubungan seksual, maka dia tidak boleh menikahi wanita itu sampai dia menjelaskannya kepada calon istrinya. Demikian juga wajib bagi calon istri menjelaskan kepada calon suami jika dirinya tidak mampu memberikan hak atau mempunyai suatu penyakit yang menghalanginya untuk melakukan hubungan seksual dengannya”.
e.    Makruh, yaitu bagi seseorang yang mampu menikah tetapi dia khawatir akan menyakiti wanita yang akan dinikahinya, atau menzalimi hak-hak istri dan buruknya pergaulan yang dia miliki dalam memenuhi hak-hak manusia, atau tidak minat terhadap wanita dan tidak mengharapkan keturunan.

4.  Mahram (Orang yang Tidak Boleh Dinikahi
Al-Qur±n telah menjelaskan tentang orang-orang yang tidak boleh (haram) dinikahi (Q.S. an-Nisā’ /4:23-24). Wanita yang haram dinikahi disebut juga mahram nikah. Mahram nikah sebenarnya dapat dilihat dari pihak laki-laki dan dapat dilihat dari pihak wanita. Dalam pembahasan secara umum biasanya yang dibicarakan ialah mahram nikah dari pihak wanita, sebab pihak laki-laki yang biasanya mempunyai kemauan terlebih dahulu untuk mencari jodoh dengan wanita pilihannya.

Dilihat dari kondisinya, mahram terbagi kepada dua; pertama mahram muabbad (wanita diharamkan untuk dinikahi selama-lamanya) seperti: keturunan, satu susuan, mertua perempuan, anak tiri jika ibunya sudah dicampuri, bekas menantu perempuan, dan bekas ibu tiri. Kedua mahram gair muabbad adalah mahram sebab menghimpun dua perempuan yang statusnya bersaudara, misalnya saudara sepersusuan kakak dan adiknya. Hal ini boleh dinikahi tetapi setelah yang satu statusnya sudah bercerai atau meninggal dunia. Yang lain dengan sebab istri orang dan sebab iddah.

Mahram dapat dibagi menjadi empat kelompok, yaitu sebagai berikut :
Mahram (Orang yang tidak boleh dinikahi
1.  Ibu dan seterusnya ke atas
2.  Anak perempuan dan seterusnya ke bawah
3.  Saudara perempuan
(sekandung, seayah atau seibu)
4.  Bibi (saudara ibu, baik yang sekandung atau dengan perantaraan ayah atau ibu)
5.  Bibi (saudara ayah baik sekandung atau dengan
perantaraan ayah atau ibu)
6.  Anak perempuan dari saudara laki laki terus kebawah
7.  Anak perempuan dari saudara perempuan terus ke bawah
1.  Ibu isterinya (mertua) dan seterusnya ke atas,baik ibu dari keturunan atau susuan
2.  Rabibah, yaitu anak tiri (anak isteri yang dikawin dengan suami lain), jika
sudah bercampur dengan ibunya.
3.  Isteri ayah dan seterusnya keatas
4.  Wanita-wanita yang pernah dikawini oleh ayah,kakek (datuk) sampai ke atas, sebagaimana dinyatakan dalam Q.S.an-Nisa’/4:22.
5.  Isteri anaknya yang laki-laki (menantu) dan  eterusnya ke bawah

1.  Ibu yang menyusui
2.  Saudara perempuan yang
mempunyai hubungan
susuan


1.  Saudara perempuan dari
isteri
2.  Bibi perempuan dari isteri
3.  Keponakan perempuan dari isteri

5.  Rukun dan Syarat Pernikahan
Jumhur ulama sebagaimana juga mażhab Syafi’i mengemukakan bahwa rukun nikah ada lima seperti di bawah ini :
a.    Calon suami, syarat-syaratnya sebagai berikut :
1)    Bukan mahram si wanita, calon suami bukan termasuk yang haram dinikahi arena adanya hubungan nasab atau sepersusuan.
2)    Orang yang dikehendaki, yakni adanya keri«±an dari masingmasing pihak. Dasarnya adalah hadis dari Abu Hurairah r.a, yaitu: ”Dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan sehingga ia diminta izinnya” (HR Bukhari dan Muslim).
3)    Mu’ayyan (beridentitas jelas), harus ada kepastian siapa identitas mempelai laki-laki dengan menyebut nama atau sifatnya yang khusus.
b.    Calon istri, syaratnya adalah :
1)    Bukan mahram si laki-laki.
2)    Terbebas dari halangan nikah, misalnya, masih dalam masa iddah atau berstatus sebagai istri orang.
c.    Wali, yaitu bapak kandung mempelai wanita, penerima wasiat atau kerabat terdekat, dan seterusnya sesuai dengan urutan ashabah wanita tersebut, atau orang bijak dari keluarga wanita, atau pemimpin setempat, Rasulullah saw. bersabda: “Tidak ada nikah, kecuali dengan wali.” Umar bin Khattab ra. berkata, “Wanita tidak boleh dinikahi, kecuali atas izin walinya, atau orang bijak dari keluarganya atau seorang pemimpin”.

Syarat wali adalah :
1)     Orang yang dikehendaki, bukan orang yang dibenci,
2)    Laki-laki, bukan perempuan atau banci,
3)    Mahram si wanita,
4)    Baligh, bukan anak-anak,
5)    Berakal, tidak gila,
6)    Adil, tidak fasiq,
7)    Tidak terhalang wali lain,
8)    Tidak buta,
9)    Tidak berbeda agama,
10) Merdeka, bukan budak
d.    Dua orang saksi
Firman Allah : “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kalian” (Q.S. at-Țhalaq/65:2).

Syarat saksi adalah sebagai berikut :
1)    Berjumlah dua orang, bukan budak, bukan wanita, dan bukan orang fasik.
2)    Tidak boleh merangkap sebagai saksi walaupun memenuhi kualifkasi sebagai saksi.
3)    Sunnah dalam keadaan rela dan tidak terpaksa
e.    Sigah (Ijab Kabul), yaitu perkataan dari mempelai laki-laki atau wakilnya ketika akad nikah. Syarat shighat adalah sebagai berikut :
1)    Tidak tergantung dengan syarat lain.
2)    Tidak terikat dengan waktu tertentu.
3)    Boleh dengan bahasa asing.
4)    Dengan menggunakan kata “tazwij” atau “nikah”, tidak boleh dalam bentuk kinayah (sindiran), karena kinayah membutuhkan niat sedang niat itu sesuatu yang abstrak.
5)    Qabul harus dengan ucapan “Qabiltu nikahaha/tazwijaha” dan boleh didahulukan dari ijab.

6.  Pernikahan yang Tidak Sah
Di antara pernikahan yang tidak sah dan dilarang oleh Rasulullah saw. Adalah sebagai berikut :
a.    Pernikahan Mut`ah, yaitu pernikahan yang dibatasi untuk jangka waktu tertentu, baik sebentar ataupun lama. Dasarnya adalah hadis berikut: “Bahwa Rasulullah saw. melarang pernikahan mut’ah serta daging keledai kampung (jinak) pada saat Perang Khaibar” (HR. Muslim).
b.    Pernikahan syighar, yaitu pernikahan dengan persyaratan barter tanpa pemberian mahar. Dasarnya adalah hadis berikut. “Sesungguhnya Rasulullah saw. melarang nikah syighar. Adapun nikah syighar yaitu seorang bapak menikahkan seseorang dengan putrinya dengan syarat bahwa seseorang itu harus menikahkan dirinya dengan putrinya, tanpa mahar di antara keduanya” (HR. Muslim).
c.    Pernikahan muhallil, yaitu pernikahan seorang wanita yang telah ditalak tiga oleh suaminya yang karenanya diharamkan untuk rujuk kepadanya, kemudian wanita itu dinikahi laki-laki lain dengan tujuan untuk menghalalkan dinikahi lagi oleh mantan suaminya. Abdullah bin Mas’ud berkata: “Rasulullah saw. melaknat muhallil dan muhallal lahu” (HR. at-Tirmiżi).
d.    Pernikahan orang yang ihram, yaitu pernikahan orang yang sedang melaksanakan ihram haji atau ‘umrah serta belum memasuki waktu tahallul. Rasulullah saw. bersabda: “Orang yang sedang melakukan ihram tidak boleh menikah dan menikahkan” (HR. Muslim).
e.    Pernikahan dalam masa iddah, yaitu pernikahan di mana seorang lakilaki menikah dengan seorang perempuan yang sedang dalam masa iddah, baik karena perceraian ataupun karena meninggal dunia. Allah Swt. berfrman: “Dan janganlah kamu ber’azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis ‘iddahnya” (Q.S. al-Baqarah/2:235).
f.     Pernikahan tanpa wali, yaitu pernikahan yang dilakukan seorang laki-laki dengan seorang wanita tanpa seizin walinya. Rasulullah saw. bersabda: “Tidak ada nikah kecuali dengan wali.”
g.    Pernikahan dengan wanita kafr selain wanita-wanita ahli kitab, berdasarkan frman Allah Swt.: “Dan janganlah kamu menikahi wanitawanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu” (Q.S. al-Baqarah/2:221).
h.   Menikahi mahram, baik mahram untuk selamanya, mahram karena pernikahan atau karena sepersusuan.

Pernikahan Menurut Undang-Undang Perkawinan Indonesia
(UU No.1 Tahun 1974)

Di dalam negara RI, segala sesuatu yang bersangkut paut dengan penduduk, harus mendapat legalitas pemerintah dan tercatat secara resmi, seperti halnya kelahiran, kematian, dan perkawinan. Dalam rangka tertib hukum dan tertib administrasi, maka tatacara pelaksanaan pernikahan harus mengikuti prosedur sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 1 Thn 1974.

Adapun pencatatan Pernikahan sebagaimana termaktub dalam BAB II pasal 2 adalah dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) yang berada di wilayah masing-masing. Karena itu Pegawai Pencatat Nikah mempunyai kedudukan yang amat penting dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia yaitu diatur dalam Undang-undang No. 32 tahun 1954, bahkan sampai sekarang PPN adalah satu-satunya pejabat yang berwenang untuk mencatat perkawinan yang dilakukan berdasarkan hukum Islam di wilayahnya. Artinya, siapapun yang ingin melangsungkan perkawinan berdasarkan hukum Islam, berada di bawah pengawasan PPN.

Hak dan Kewajiban Suami Istri
arrahman.id
Dengan berlangsungnya akad pernikahan, maka memberi konsekuensi adanya hak dan kewajiban suami isteri, yang mencakup 3 hal, yaitu kewajiban bersama antara suami dan isteri, kewajiban suami terhadap isteri dan kewajiban isteri terhadap suami :
1.  Kewajiban bersama suami dan istri, yaitu sebagai berikut :
a.    Memelihara dan mendidik anak dengan sebaik-baiknya.
b.    Berbuat baik terhadap mertua, ipar dan kerabat lainnya baik dari suami atau isteri.
c.    Setia dalam hubungan rumah tangga dan memelihara keutuhannya dengan berusaha melakukan pergaulan secara bijaksana, rukun, damai dan harmonis;
d.    Saling bantu membantu antara keduanya.
e.    Menjaga penampilan lahiriah dalam rangka merawat keutuhan cinta dan kasih sayang diantara keduanya. Perhatikan Q.S. at-Tahrim/66:6, Q.S. an-Nisa’/4:36 dan Q.S. al-Maidah/5:2

2.  Kewajiban Suami terhadap Istri
a.    Menjadi pemimpin, memelihara dan membimbing keluarga lahir dan batin serta menjaga dan bertanggung jawab atas kesejahteraan keluarganya (Q.S. at-Tahrim/66:6).
b.    Memberi nafkah, pakaian dan tempat tinggal kepada istri anak-anaknya sesuai dengan kemampuan yang diusahakan secara maksimal (Q.S.alBaqarah/2:168 dan 172).
c.    Bergaul dengan isteri secara ma’ruf dan memperlakukan keluarganya dengan cara baik.
d.    Masing-masing anggota keluarganya, terutama suami dan isteri bertanggung jawab sesuai fungsi dan perannya masing-masing.
e.    Memberi kebebasan berfkir dan bertindak kepada isteri sepanjang sesuai norma Islam, membantu tugas-tugas isteri serta tidak mempersulit kegiatan isteri.

3.  Kewajiban Istri terhadap Suami
a.    Taat kepada perintah suami. Istri yang setia kepada suaminya berarti telah mengimbangi kewajiban suaminya kepadanya. Ketaatan istri kepada suami hanya dalam hal kebaikan. Jika suami meminta istri untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan syariat Islam, maka istri harus menolaknya. Tidak ada ketaatan kepada manusia dalam kemaksiatan kepada Allah Swt.
b.    Selalu menjaga diri dan kehormatan keluarga. Menjaga kehormatan diri dan rumah tangga, adalah bilamana suami tidak ada dirumah istri wajib menjaga harta dan kehormatan suami, karenanya istri tidak boleh keluar rumah tanpa seizin suami.
c.    Bersyukur atas nafkah yang diterima dan menggunakannya dengan sebaik-baiknya.
d.    Membantu suami dan mengatur rumah tangga sebaik mungkin.

Hikmah Pernikahan

Nikah disyariatkan Allah Swt. melalui al-Qurān dan sunah Rasul-Nya, seperti dalam uraian di atas, mengandung hikmah yang sangat besar untuk keberlangsungan hidup manusia, di antaranya sebagai berikut :
1.  Terciptanya hubungan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, dalam ikatan suci yang halal dan diridhai Allah Swt.
2.  Mendapatkan keturunan yang sah dari hasil pernikahan.
3.  Terpeliharanya kehormatan suami istri dari perbuatan zina.
4.  Terjalinnya kerja sama antara suami dan istri dalam mendidik anak dan menjaga kehidupannya.
5.  Terjalinnya silaturahim antarkeluarga besar pihak suami dan pihak istri.

Disalin dari : Buku PAI dan Budi Pekerti (Edisi Revisi 2018), Kemdikbud.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel